Perenungan Khidmat tentang Dunia Digital dalam Pameran Ryoji Ikeda - scan.tron.flux

 

  1. Mengubah data menjadi seni pertunjukan


Di era serba data seperti hari ini, semakin banyak seniman yang menggunakan data sebagai bagian dari ekspresi formalis karya maupun abstraksi pengetahuan karyanya. Bentuk seni yang mereka hasilkan juga bisa sangat beragam. Salah satu bentuk seni yang relatif jarang membingkai era data saat ini sebagai ekspresi formalis adalah seni pertunjukan. Sebagai seni yang berpusat pada kehadiran manusia, penggunaan data dalam seni pertunjukan biasanya cenderung membutuhkan keberadaan tubuh manusia yang menjadi medium bagi data tersebut. Oleh karena itu, biasanya data hadir dalam pertunjukan sebagai materi yang direpresentasikan melalui tindakan maupun tubuh manusia. Menariknya, Ryoji Ikeda memutuskan untuk mengesampingkan kehadiran manusia dengan sepenuhnya membiarkan data tampil sendiri sebagai serangkaian ansambel audiovisual dalam pameran scan.tron.flux miliknya.


Ryoji Ikeda pernah menjadi anggota kolektif Jepang bernama Dumb Type yang hadir sejak pertengahan tahun 80-an. Ikeda bergabung dengan Dumb Type pada pertengahan tahun 90-an. Kelompok tersebut terdiri dari para penampil di atas panggung, desainer pencahayaan, skenografi, komposer, programmer komputer, arsitek, desainer, dan desainer grafis. Pengalamannya selama puluhan tahun sebagai seniman pertunjukan dengan fokus mendalam pada interaksi cahaya, bunyi, data, dan mekanisme komputasi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk seni. Dengan lebih dari empat dekade berkecimpung dalam dunia seni, karya-karya Ikeda termasuk di antara jajaran karya seni media yang penting untuk disimak.


Dipamerkan di Urban Forest Cipete, Jakarta, pada 26 Januari - 13 April 2025, pameran scan.tron.flux menyuguhkan tiga karya: data.flux[n01], data.scan[n01-9], dan data.tron. Ketiga karya ini merupakan bagian dari seri datamatics; sebuah proyek seni yang mengeksplorasi potensi untuk memahami berbagai substansi data tak kasatmata yang meresapi dunia kita dengan menyajikannya dalam berbagai eksperimen bentuk yang berupaya mewujudkan data murni. Dibandingkan dengan kebanyakan pameran seni media yang cenderung dipenuhi dengan hiruk-pikuk dengan kesan kekacauan teknologis yang khas, scan.tron.flux menyambut pengunjung dengan menghadirkan tiga ruangan hitam yang diisi oleh layar yang berkedip-kedip serta dengungan sakral suara komputer. Alih-alih hiruk-pikuk, pameran ini mengajak pengunjungnya untuk masuk dalam perenungan khidmat tentang dunia digital.



Sebuah lorong kecil mulanya membawa kita ke ruang pamer pertama. Di langit-langit, sebuah instalasi layar memanjang menampilkan serangkaian angka bergerak, mengundang penonton untuk mendongak sambil mendengarkan bunyian-bunyian yang dikomposisi Ikeda. Ada suara dengungan dengan beberapa bunyi denting yang muncul dari waktu ke waktu. Komposisi bunyi ini bergerak hampir sinkron dengan gerakan lampu dan angka-angka di layar. Saya bertanya-tanya dalam hati: data apa ini? Mengapa semuanya dalam bentuk numerik?



Memasuki ruangan kedua, sebuah layar persegi panjang besar menarik perhatian. Saat saya masuk, layar menunjukkan pemandangan yang sepertinya merujuk pada tampilan pemrosesan back-end dengan garis-garis biru dan merah yang bergerak naik turun. Suara dentingan yang sering dan cepat di ruang ini mengingatkan saya pada momen bunyi gangguan listrik. Semakin diperhatikan, tubuh saya semakin terpaku pada layar, mendorong saya untuk bergerak lebih dekat... lebih dekat... dan lebih dekat ke layar raksasa itu.


Pergerakan garis-garis pada layar mengingatkan saya pada pengalaman bekerja secara manual membuat video stop-motion menggunakan gambar garis. Pada pengalaman tersebut, ribuan foto berisi garis-garis dengan posisi yang bervariasi bergerak memjadi basis dari karya video; dari gambar diam menjadi gambar bergerak berisi salah satu unsur mendasar visual, yaitu garis. Saat layar menghadirkan tampilan serba angka yang bergerak secara cepat, sulit untuk tidak merasa terkejut. Terutama ketika angka-angka tersebut bergerak sangat cepat dan tiba-tiba berhenti, hanya untuk kemudian bergerak cepat lagi. Dengan memberi judul bagian ini sebagai data.tron, Ikeda tampaknya sangat ingin menunjukkan kepada kita bagaimana dunia kita memang dibangun oleh berbagai pola berulang yang bergerak terus-menerus tanpa henti dan ia dimulai dari satu unit tunggal yang lebih kecil. Bergerak menjauh, lalu mendekat ke layar, mata kita bisa mengenali detail dan kumpulan. Jalinan angka di layar ini membawa kita ke perenungan tentang partikel-partikel terkecil yang menenun dunia kita, sebagaimana dirujuk oleh kata tron dalam judul karya ini untuk merujuk pada ide tentang partikel atau elemen subatomik yang menyusun unit elemen yang lebih besar.



Area terakhir terdiri dari sembilan layar yang terletak di atas sembilan pustek terpisah seperti sembilan pulau. Setiap layar menunjukkan set data dan visualisasi data yang berbeda yang bergerak pada sembilan komposisi terpisah. Beberapa data menunjukkan komposisi berbagai pola yang spesifik misal saat komputer eror, pemetaan urutan DNA kromosom, studi kode Morse, pola grid matematika, struktur protein, urutan genom manusia, titik-titik yang terkoordinasi secara matematis, pemetaan alam semesta, dan metadata proyek datamatics itu sendiri. Sementara itu, Ikeda menggubah berbagai suara yang mirip dengan bunyi korslet kelistrikan dengan komposisi cahaya yang muncul dari komposisi data di layar. Ia memanfaatkan ruang negatif pada gambar untuk memancarkan permainan cahaya di dalam ruangan. Pada titik tertentu, layar akan bergerak dalam komposisi yang tersinkronisasi untuk membentuk pertunjukan cahaya dan suara. Pertunjukan itu sepenuhnya dilakukan oleh mekanisme kelistrikan dan komputasi, menghilangkan kehadiran tubuh manusia sebagai operator mesin dalam pertunjukan.


Seluruh pameran ini merupakan pengingat tentang sistem biner yang menjadi dasar dari dunia digital. Pengalaman spasial hitam-putih yang mencolok, bersama dengan bunyi denting, gemeletuk, dan dengung elektrik yang khidmat namun khas merangsang pengalaman sensorik audiens pada ilusi back-end dan bentuk data. Ikeda dikenal karena kerap berkarya menggunakan elemen cahaya. Hal ini tampak jelas dalam pameran scan.tron.flux ini. Alih-alih menggunakan proyeksi cahaya, Ikeda memilih untuk memanfaatkan lampu berkedip yang dipancarkan oleh layar yang memproyeksikan visualisasi beberapa titik jaringan data. Data dalam konteks ini telah diubah menjadi pengalaman cahaya dan suara untuk menginspirasi renungan tentang bagaimana dunia kita dibangun oleh beberapa pola gerakan dan keheningan yang berulang, yang terjalin menjadi sebuah nuansa raksasa nan kompleks yang disebut kehidupan.



Meskipun komposisi tersebut tampak seakan spontan dan tak terbatas akibat efek looping, namun sebetulnya terdapat sebuah tatanan komposisi yang jelas dan terbatas. Komposisi bunyi tersebut pendek, namun diprogram untuk berputar secara sirkular yang berjalan terus-menerus sehingga memberikan ilusi ketidakterbatasan. Jika kita andaikan  seni musik atau bebunyian sebagai sesuatu yang mengisi waktu, dan seni visual mengisi ruang, maka seni pertunjukan adalah sesuatu yang mengisi jalinan ruang dan waktu. Dalam jalinan semacam itulah Ikeda menunjukkan kepada kita tentang data sebagai sesuatu yang materil. Aliran datanya mengalir di atas kepala kita, data.tron-nya menarik pandangan kita melalui layar raksasa, dan pertunjukan data.scan hadir memukau melalui sebuah dramaturgi yang seakan dimainkan hantu dan menelan kita pada ruang pamer terakhir.


Pertunjukannya sepenuhnya dimainkan oleh perangkat listrik yang digerakkan oleh komposisi video yang berisi rangkaian data yang dikomposisi oleh Ikeda menjadi lakon audiovisual yang terorkestrasi. Perangkat listrik yang memancarkan cahaya dan suara adalah para pemainnya, bukan manusia atau Ikeda sendiri. Ia menghilangkan keberadaannya dan menguraikan kehadiran manusia menjadi data, misal pada data rangkaian genom dan rangkaian DNA. Semuanya telah diekstraksi menjadi kehadiran matematis dalam bentuk angka, titik, garis, dan cahaya serta suara elektronis. Kehadiran matematis ini bukan sekadar elemen dari seni visual, tetapi juga bentuk representasi yang dapat hadir dalam media komputasional.


Dalam lingkungan komputasional, data adalah representasi yang dapat dibaca, diubah, dan dianalisis oleh komputer. Bentuk komputasional semacam ini juga memungkinkan data untuk direpresentasikan dalam bentuk yang tidak dapat ditangkap oleh bahasa verbal dan tekstual. Dari sini, ada kesan bahwa bentuk komputasional dan bentuk visual cenderung lebih memiliki kedekatan daripada bentuk komputasional dan bentuk verbal atau tekstual. Hal ini karena bentuk komputasional dan bentuk visual bergantung pada pola, struktur, dan logika spasial untuk menyampaikan makna di luar batasan bahasa. Hal ini juga menggarisbawahi bahwa kumpulan data juga merupakan objek yang terstrukturkan sedemikian rupa sehingga memungkinkannya berada dalam media komputasi. Pemahaman ini memungkinkan data untuk melampaui fungsi konvensionalnya, dan muncul sebagai fenomena audiovisual dan bahkan mengambil bentuk seni pertunjukan.


  1. Data sebagai Pengetahuan


Di balik rasa takjub atas perenungan yang dipantik Ikeda tentang dunia digital, ada pertanyaan yang masih mengganggu: Data apa yang ia gunakan? Untuk menekankan hakikat representasi itu sendiri, apa yang direpresentasikan melalui data-data yang hadir dalam pameran ini? Ikeda telah menghadirkan data sebagai bentuk material yang dapat kita alami estetikanya secara sensoris. Namun, bagaimana dengan data-data ini sebagai fungsi konvensional dasarnya? Data apakah ini?


Karya seni pada ruang terakhir adalah satu-satunya karya dengan pernyataan dan referensi yang jelas tentang jenis data yang digunakan Ikeda. Namun, dua karya sebelumnya tidak memberikan petunjuk apa pun tentang data yang digunakan Ikeda sebelum ia mengubahnya menjadi bentuk numerik atau garis. Bagaimana kita dapat mendekati pemahaman di luar spektakel dan formalisme data jika kita tidak memahami jenis informasi di balik representasi yang memukau ini?


Meskipun seni tidak selalu membutuhkan penjelasan, karya seni Ikeda telah menarik minat publik yang kuat. Untuk itu, ada kebutuhan untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan. Data memang ada di mana-mana. Jadi, data apa yang kita tengah hadapi di pameran ini? Dari mana data tersebut berasal dan bagaimana cara menggali atau ‘menambangnya’?


Praktik menambang data atau data mining sendiri merupakan aspek yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Ini adalah sebuah keterampilan yang jarang diakui sebagai bentuk keterampilan estetis dalam konteks seni. Dalam karya-karya Ikeda, tampak jelas bahwa kata ‘craftmanship’ atau ‘keterampilan’ telah melintasi wilayah baru yang melibatkan mesin dan mekanisme digital. Praktik artistik tidak lagi hanya tentang menggerakkan tubuh kita untuk menghasilkan sebuah karya seni, tetapi juga melibatkan berbagai kemampuan lain yang membuka kemungkinan baru untuk menghasilkan karya seni. Selain kuas, keyboard pun telah menjadi alat penting dalam kreasi artistik kontemporer, yang menandakan perubahan dalam cara kita berjibaku dengan materialitas dan keterampilan. Gagasan keterampilan yang diperluas ini melampaui aspek fisik yang umumnya muncul dalam kreasi seni. Alih-alih, praktik semacam ini cenderung menggabungkan intuisi manusia dengan kepresisian mesin. Dengan demikian, praktik seni semacam ini pun turut menghadirkan orkestrasi terhadap mesin dan mekanisme digital.


Namun, evolusi ini bukanlah hal yang baru atau tiba-tiba. Hal ini telah menjadi bagian dari praktik seni yang berkembang sejak munculnya seni media beberapa dekade lalu. Pergeseran dalam media artistik dan perluasan cakupan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghasilkan karya seni telah terus mendefinisikan ulang kerja artistik karena kreativitas semakin dimediasi melalui mekanisme yang lebih beragam. Penggunaan data oleh Ikeda dalam pameran ini merupakan salah satu dari banyaknya mekanisme yang dapat dieksplorasi oleh seniman dalam seni media, yang menunjukkan bagaimana praktik artistik menavigasi dunia digital sebagai media dan pesan.


Namun, salah satu masalah dalam konteks kita di Indonesia terkait proses modernisasi dan teknologi adalah bagaimana kita menerima infrastruktur teknologi tanpa menerima pengetahuan dan mentalitasnya secara bersamaan. Ronny Agustinus mengartikulasikan hal ini dengan jelas dalam esainya “Video: Not All Correct…” yang ditulis untuk OK. Video—Jakarta Video Art Festival 2003. Lebih jauh, fenomena semacam itu telah berlangsung sejak era kolonial dan terus berulang. Kita terus menerus mewarisi cangkang luar teknologi—alat, infrastruktur, dan pukauan spektakelnya—tanpa kerangka dasar yang memungkinkan pemahaman, adaptasi, dan inovasi yang jauh lebih mendalam dan esensial.


Sementara itu, seperti bentuk representasi dan medium lainnya, data memiliki batasnya sendiri mengenai apa yang ia representasikan dan ungkapkan. Jika batas pada suatu gambar terletak pada bingkainya yang terlihat secara gamblang oleh mata, batas pada data terkadang tidak langsung terlihat oleh mata. Sejalan dengan adanya inklusi dalam representasi data, terdapat pula eksklusi pada saat yang sama. Ada praktik penyaringan atau filter yang hasilnya tidak bisa tampak seketika oleh mata. Membaca data pun berarti membaca serangkaian seleksi yang mewakili pengetahuan tertentu.



Selain itu, perbincangan tentang penggalian data dan literasi data menjadi lebih penting saat ini karena bentuk pengetahuan ini masih terbatas, bahkan cenderung tidak dapat diakses bagi sebagian besar orang. Meskipun keberadaan manusia semakin kerap diekstraksi ke dalam titik data (data point) melalui aktivitas log-in mereka, namun kemampuan untuk menggali, menambang dan memahami ekstraksi data tersebut masih terbatas, mungkin terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Dan jika kita ingin bergerak ke tahap merebut alat produksi, maka merebut alat pengetahuan harus dimulai, misalnya, dengan membangun jembatan pemahaman terhadap karya seni seperti karya Ikeda ini.


Dalam dunia di mana infrastruktur digital mengatur sebagian besar keberadaan kita, memahami data bukan lagi sekadar kejaran yang sifatnya teknis, tetapi keharusan budaya. Pameran scan.tron.flux karya Ikeda entah bagaimana memaksa kita untuk mempertimbangkan kembali hakikat data—bukan sekadar sebagai konstruksi abstrak, tetapi sebagai materi yang mampu tampil dan mengokupasi ruang. Pameran ini mengundang kita untuk terlibat dengan data di luar fungsi umumnya, memperlakukannya sebagai materi untuk eksplorasi, direfleksikan, dan bahkan sebagai ekspresi artistik. Karya Ikeda mengungkap bagaimana data dapat terwujud sebagai sebuah pengalaman estetika sensoris, yang membangkitkan kontemplasi alih-alih sekadar konsumsi.


Namun, hal ini juga mengungkap ketegangan mendasar: sementara data semakin ada di mana-mana, mekanisme dan maknanya tetap sulit dipahami oleh sebagian besar orang. Tantangan kita adalah untuk bergerak melampaui spektakel dan secara kritis menginterogasi sistem yang menghasilkan dan mengendalikan informasi—mengubah pengamatan pasif kita menjadi pemahaman aktif dan mungkin juga merebut kembali agensi di ranah digital.***



[1] https://www.ensemble-modern.com/en/media/interviews/2024-01-17/t-s-not-a-machinery-a-conversation-with-ryoji-ikeda  

[2] https://www.ryojiikeda.com/project/datamatics/  

[3] Manovich, Lev. Cultural Analytics. The MIT Press: Cambridge. 2020. hlm 131.

[4] Manovich, Lev. "Data," in Critical Terms in Futures Studies, ed. Paul Heike, Palgrave, 2019. 

[5] Agustinus, Ronny. “Video: Not All Correct…” written for OK. Video—Jakarta Video Art Festival 2003.


Maret, 2025.