Dari Parit ke Panggung: Membaca Melodrama Kenji Mizoguchi






Saat pertama kali menonton Story of The Last Chrysantemums (1939) karya Kenji Mizoguchi, hal pertama yang kawan saya minta saya perhatikan dalam film ini adalah bagaimana sebuah adegan menyajikan gerak kamera yang begitu halusnya mengikuti gerak pemain dan pertanyaan tentang bagaimana tradisi pemanggungan Jepang hadir dalam karya sinema. Kenji Mizoguchi sendiri merupakan salah satu sutradara film Jepang di era pra Perang Dunia II yang terkenal piawai dalam menerjemahkan tradisi seni pertunjukan Jepang seperti Kabuki dan Shinpa ke dalam sinema.

Memotret kehidupan para pemain Kabuki, film Story of The Last Chrysantemums menuturkan perjalanan seorang onnagata (aktor yang spesifik memainkan peran perempuan) legendaris bernama Kikunosuke yang menempuh perjuangan berat menuju masyhur bersama Otoku—sang kekasih. Formula narasi cerita dalam film ini relatif sederhana: kisah cinta yang terhalang kelas sosial ekonomi dan potret ketulusan cinta feminin—formula yang masih kerap digunakan tayangan drama Jepang dan Asia Timur hingga kini. Berlatar era Meiji, kisah cinta Otoku dan Kikunosuke menjadi medium untuk menggambarkan bagaimana dunia pertunjukan dan norma sosial saling bertaut dalam bayang-bayang feudalisme.

Kamera yang Melintasi Ruang, Menandai Kelas

Gerakan kamera menjadi salah satu hal yang paling disorot dalam film ini. Kamera yang bergerak mengikuti aktor lewat tracking shot membuat penonton turut serasa menjelajahi ulang imajinasi Mizoguchi atas Tokyo dan Osaka tahun 1880-an. Beberapa tracking shot di film ini juga merekam adegan-adegan kunci dalam konstruksi narasi film yang menekankan bagaimana ruang, gestur tubuh, dan gerakan kamera dapat mengomunikasikan dinamika psikologis yang berlangsung antar karakter dalam film.

Salah satu tracking shot penting muncul di awal film saat Kiku baru saja selesai tampil pada sebuah pementasan kabuki. Kamera tidak sekadar mengikutinya, tetapi melintasi empat ruang berbeda—dari atas ke bawah, lalu ke kanan dan kiri—merekam struktur balik panggung yang secara metaforis menegaskan keterasingan Kiku dari dunia yang seharusnya ia warisi. Kiku diperlihatkan sangat terpisah dari keluarga dan rekan-rekan kabuki-nya.




Gerakan kamera yang menelusuri ruang secara kompleks ini menggarisbawahi posisi Kiku sebagai pewaris trah kabuki, namun terpisah dari kenyataan sosialnya. Teknik shot serupa muncul kembali di rumah para geisha untuk menekankan bagaimana Kiku terisolasi dari kritik dan komentar sosial tentang ketidakmampuannya untuk tampil memukau sebagai aktor dan penerus trah kabuki keluarganya.


Sebaliknya, tracking shot di luar ruangan yang diambil dengan kamera tilt up dari dalam parit memotret interaksi horizontal Kikunosuke dengan Otoku. Pada adegan ini, Kiku akhirnya untuk pertama kalinya menerima kritik atas penampilannya sebagai aktor kabuki dari Otoku—seorang perempuan pengasuh anak. Adegan ini krusial dan puitis, terutama dalam konteks kontras kelas antara keduanya: Kiku, lelaki pewaris trah aktor yang namanya saja melambangkan bunga simbol keluarga imperial Jepang, dan Otoku, perempuan pelayan dan pengasuh anak yang ia temui saat sedang menggendong anak. Di sini, kamera tidak lagi berada dalam kungkungan ruang bertingkat dan bersekat. Ia berada di ruang terbuka yang bebas dengan arsitektur bangunan hanya sebagai latar. Gerakan kamera pun sepenuhnya horizontal, tanpa gerak vertikal yang mengingatkan akan hierarki. Sebalikanya, kamera pada adegan-adegan dalam ruangan merekam kebersamaan Kiku dan Otoku yang kerap kali berada dalam gambaran seakan terhimpit oleh struktur ruang. Kusen dan kisi menjadi sebentuk batas-batas visual yang rigid, seakan menggambarkan hambatan struktur dan arsitektur sosial terhadap kebersamaan Kiku dan Otoku.

Melodrama dan Bahasa Tubuh dalam Sinema Mizoguchi

Sebagai drama percintaan, film ini memiliki narasi emosional yang kuat. Namun, alih-alih mengandalkan raut wajah dalam close-up seperti konvensi sinema melodrama umumnya, Mizoguchi menyampaikan afek dan dinamika dramatik melalui bahasa kamera yang khas. Ia menjaga jarak antara kamera dan aktor, membuat emosi lebih banyak hadir lewat gestur dan pose tubuh yang direkam lewat long shot. Misalnya, dalam adegan saat Kiku bertemu Otoku di rumah teh dekat kuil, gairah cinta mereka tidak ditampilkan lewat sorot wajah penuh hasrat, melainkan melalui koreografi tubuh yang direkam melalui bidikan jarak jauh.

Narasi afektif biasanya menuntut ekspresi emosional yang eksplisit untuk menggugah perasaan, namun Mizoguchi memilih jalur sebaliknya. Ia menyalurkan emosi melalui psikologi ruang—yakni bagaimana karakter bergerak, diam, atau berinteraksi dalam struktur ruang yang membatasi maupun meleluasakan mereka. Teknik long take dan tracking shot yang digunakannya tidak hanya memungkinkan pengamatan atas gestur, tapi juga memperlihatkan lanskap arsitektural dan koreografi ruang sosial yang menjadi bagian penting dari narasi film.

Kamera yang nyaris tidak pernah membidik dalam jarak dekat pun berakibat pada kuatnya tangkapan terhadap gestur-gestur tubuh para aktor. Hal demikian menguntungkan bagi konteks gestur tubuh masyarakat yang mengenal kultur melantai seperti Jepang. Adanya kebiasaan duduk pada tikar tatami membuat gestur duduk, berdiri dan berbaring bisa menjadi sebuah tata bahasa visual tersendiri. Dalam film ini, gestur-gestur tersebut direkam oleh Mizoguchi lewat long shot berdurasi panjang yang memungkinkan dinamika emosional disampaikan melalui perubahan posisi tubuh, bukan ekspresi wajah. Teknik terkenal Mizogichi yang disebut “one-scene one-cut” yang merekam sebuah adegan seutuh mungkin diterapkan cukup sering di film ini. Teknik tersebut memungkinkan dinamika psikologis karakter dalam satu adegan teramati secara perlahan serta nuansa emosi hadir melalui perubahan yang lamban dan halus. Tadao Sato dalam Kenji Mizoguchi and The Art of Japanese Cinema (2008, Bloomsburry Academic) menyebut gaya ini sebagai perwujudan estetika Kabuki dan Shinpa—di mana perasaan yang paling membara justru hadir dalam gerak yang lambat, tertahan, dan penuh kendali diri.


Estetika ekspresi emosional yang berubah secara bertahap dan lamban ini mulanya merupakan bagian dari estetika pertunjukan kabuki yang kemudian termanifestasi dalam pertunjukan shinpa, yakni teater modern Jepang yang menampilkan cerita melodramatis. Cerita-cerita melodramatis shinpa kerap kali melibatkan isu cinta antar kelas sosial ekonomi yang berbeda sebagai bentuk rekaman atas fenomena sosial di era Meiji dan Taisho saat Jepang mengalami awal modernisasi dan mobilitas kelas sering terjadi. Namun hasrat cinta yang membara pada shinpa dihadirkan lewat gerak yang kadang amat sangat lamban dan penuh dengan kesan kendali diri. Estetika demikianlah yang menurut Sato meresap dalam estetika Mizoguchi.

Pada babak-babak berikutnya, teknik tracking shot terus digunakan Mizoguchi untuk membangun impresi dramatis atas peristiwa, di antaranya yaitu saat adegan Kiku mencari Otoku pertama kali ketika ia diusir oleh keluarga Kikunosuke, dan yang kedua adalah saat Kiku hendak berangkat naik kereta menuju Tokyo berpisah dari Otoku. Pada kedua adegan tersebut, kamera yang menyorot dari dalam ruangan merekam Kiku yang ada di luar ruangan dan tengah mencari Otoku. Kisi-kisi ruang dalam rumah maupun kereta bak menjadi metafora arsitektural tentang sekat sosial yang terus menghalangi kebersamaan Kiku dan Otoku.

Perempuan, Kabuki, dan Kritik Gender dalam Melodrama Mizoguchi

Di sisi lain, cara kamera bekerja dalam film ini juga kerap dispekulasikan sebagai manifestasi tentang seni pertunjukan kabuki. Shot saat Kiku dan Otoku berjalan bersama dan dekat secara emosional pertama kali dilakukan dengan teknik tracking shot dimana kamera mengikuti keduanya sambil seakan mendongak dari dalam parit. Saya pun lagi-lagi berspekulasi bahwa shot ini memperlihatkan tak hanya arsitektur lanskap Jepang di tahun tersebut, tetapi juga seperti tatapan penonton dalam sebuah pementasan kabuki.

Saat berbicara tentang kabuki, film ini juga menawarkan perspektif kritis tentang posisi perempuan dalam dunia Kabuki yang maskulin. Sejak abad ke-17, Kabuki dikuasai sepenuhnya oleh aktor laki-laki, termasuk dalam memerankan karakter perempuan. Namun melalui kisah Kikunosuke Onoe, Mizoguchi menyiratkan bahwa di balik konstruksi maskulinitas panggung, justru ada kehadiran feminin yang tak tergantikan. Perjalanan karier Kikunosuke mencapai puncaknya bukan karena bakatnya semata, melainkan karena kehadiran Otoku—perempuan pengasuh anak yang tersingkir dari lingkar sosial namun justru menjadi satu-satunya yang berani menyampaikan kebenaran tentang kelemahan akting Kikunosuke. Otoku tidak hanya menjadi kekasih, tetapi juga mentor emosional dan pendorong utama bagi transformasi Kikunosuke sebagai aktor.

Mizoguchi menempatkan Otoku sebagai tokoh sentral yang, meski nyaris selalu berada di pinggir panggung kehidupan maupun panggung Kabuki dan hilang dari sorotan pada saat-saat penting, justru menjadi kekuatan penentu dalam trajektori protagonis lelaki—Kikunosuke. Dalam konteks ini, film tidak hanya mengangkat tema cinta yang transenden atas perbedaan kelas sosial, tetapi juga memaparkan ironi gender: perempuan yang berada di pinggiran panggung formal justru memegang kuasa moral, afektif, dan bahkan artistik. Pencapaian tertinggi Kikunosuke bukan saat ia tampil sebagai lelaki kuat, tetapi justru ketika ia berhasil memerankan karakter perempuan bernama Sumizome. Kepiawaiannya tersebut tidak mungkin tercapai tanpa tempaan pengalaman yang didampingi dan didukung oleh Otoku. Dengan ini, Mizoguchi menyampaikan bahwa realitas gender di panggung Kabuki dan realitas cinta Otoku-Kiku tidak terpisah. Kedua realitas ini saling berjalin, menghadirkan potret kompleks tentang situasi perempuan di era pasca feudal.

Epilog

Meski kemasyhuran Kikunosuke dituainya di atas panggung dalam pawai besar menyusuri kanal Osaka, benih keberhasilannya justru disorot tumbuh dari tempat paling rendah dan intim—dari sebuah parit tempat kamera pertama kali memperlihatkan pertemuan emosionalnya dengan Otoku yang menggendong bayi. Mizoguchi seolah menyampaikan bahwa sejarah laki-laki agung tak lepas dari laku sunyi perempuan. Dalam semesta visual yang dibangunnya, cinta tidak hadir dalam sorot mata atau pelukan dramatis, tetapi dalam gestur tertahan, dalam struktur ruang yang menghimpit, dan dalam relasi kuasa sosial.

 

Daftar Pustaka:

Satō, Tadao, Aruna Vasudev, and Latika Padgaonkar. Kenji Mizoguchi and the Art of Japanese Cinema. English ed. Oxford ; New York: Berg, 2008.

Dapat ditonton di link berikut The Story of the Last Chrysanthemums (1939) - Kenji Mizoguchi