Pendaran Arsip 30 Tahun Berkarya Miles Films: Sinema, Memori, dan Perubahan Teknologi
Nostalgia Sinema
Tumbuh di
kawasan desa di Jawa Tengah, film-film Indonesia yang paling mudah diakses di
awal tahun 2000-an biasanya adalah film produksi Miles Films, atau setidaknya
demikian memori yang saya miliki. Petualangan Sherina (2000) karya Riri Riza
dan Ada Apa Dengan Cinta? (2002) karya Rudi Soedjarwo adalah dua film besutan
rumah produksi Miles Films yang paling lekat saya ingat sebagai anak-anak yang mengonsumsi
sinema di desa pada waktu itu. Karena bioskop di kampung halaman saya mulai
mati dan tidak menayangkan film sejak tahun 2000an awal, maka film-film pun biasanya
ditonton lewat kaset CD yang dibeli atau didapat dari persewaan serta lewat tayangan
berkala di televisi. Di desa saya, internet baru lancar menjelang akhir dekade
pertama tahun 2000 sehingga aktivitas unduh-mengunduh bukanlah opsi bagi kami
di awal tahun 2000-an.
Kunjungan tanggal
3 November 2024 kemarin ke Open Studio Miles Films cukup memantik
kembali ingatan betapa mencari film di pedesaan Jawa Tengah di awal tahun
2000an itu tak mudah. Selain niat dan informasi, dibutuhkan juga daya ekonomi
(dengan pirit-pirit uang jajan mingguan yang tak seberapa) dan kesabaran
memantau rak-rak kaset CD/DVD di toko rental dan toko kaset bajakan di pusat
kota atau menunggu si film diputar di TV (serta mengalami proses rebutan remote
dengan Mama yang biasanya getol mau nonton sinetron 😮💨). Di tahun yang sama, pengalaman
teknologi audiovisual di kota, terutama kota besar, biasanya berbeda dari apa
yang saya alami di kampung halaman. Kenyataannya, akses pengetahuan kita selalu
punya corak khas masing-masing di sepanjang zaman pergantian teknologi.
Maka dari
itulah, saya selalu senang saat berkesempatan melihat/ membaca/ mendengarkan
catatan-catatan tentang perjalanan adaptasi dan transisi teknologi kita sebab
saya yakin ada linimasa dan cerita yang khas pada tiap-tiap konteks. Open
Studio Miles Films kemarin mengusung tema Flickering Spirit, diselenggarakan
oleh Miles Films dan berlangsung dari tanggal 1-9 November 2024, berlokasi di
kantor Miles Films. Acara ini diselengarakan sebagai bagian dari Bintaro Design
District kelima dan berisi sejumlah rangkaian kegiatan dalam rangka refleksi
atas 30 tahun perjalanan berkarya Miles Films. Perjalanan produksi sinema yang
telah dilakoni Miles Films sejak ia berdiri di tahun 1995 telah melewati ragam
perubahan zaman, termasuk perubahan teknologi produksi audiovisual: dari analog
menuju digital. Perubahan ini pun terjadi seiring dengan beralihnya wahana
teknologi sinema global dan Indonesia.
Arsip dan Memori
Organisasional Miles Films
Memasuki Flickering
Spirit Open Studio di Miles Films, rasanya tak jauh beda seperti memasuki
ruang-ruang memori organisasional Miles Films terkait pengalaman dan teknologi
produksi. Ruang-ruang ini mereka bagi pada empat lantai ruang pamer. Di lantai
pertama, tema Tentang Seribu Pulau dan Laskar Pemimpi (1995-2012)
menghadirkan strip film seluloid, linimasa produksi film Miles Films, serta
nukilan cerita-cerita penting dalam perkembangan sinematik Miles Films.
Pengunjung juga berkesempatan melihat ruang arsip seluloid Miles Films dan
melihat gulungan reels film Laskar Pelangi (2008) yang ditata
dalam meja berisi alat splice atau alat pemotong seluloid. Di lantai
kedua, tema Transisi: Barat di Rimba, Timur di Humba (2013-2019) diisi
dengan catatan pengalaman sinematografer seperti Yadi Sugandi, yang telah lama
bekerja sama dengan Miles Films, sebagai bentuk representasi peralihan dari
seluloid ke digital.
Di lantai
ketiga dengan tema Paranoia Pandemi (2020-2023), upaya Miles Films untuk
terus berkarya di tengah krisis global dihadirkan lewat cerita-cerita balik
layar perihal produksi film Paranoia yang dibuat saat pandemi. Sedangkan
di lantai keempat, hadir proyek terbaru dari IP Slate Miles Films, Untuk
Rangga & Cinta (2024-2026) yakni berupa karya-karya terbaru Miles: Rangga
& Cinta (rilis 2025), Hilang di Rembang, Needle in a Haystack, Cubs
(Amuk Harimau), dan Bunga Malam. Demikian pembagian ruang sebagaimana
dipaparkan pula dalam catatan pengantar pameran oleh Andang Kelana dan
Prashasti W. Putri.
Salah satu
hal yang menarik dari Flickering Spirit Open Studio Miles Films ini
adalah adanya upaya pemaknaan yang lebih mendalam terhadap kerja-kerja
keseharian produksi film. Meja kerja, ruang rapat, sketsa balik layar,
perangkat kerja, cerita dan berbagai memori terkait proses produksi adalah
bentuk-bentuk pengetahuan yang seringkali tak mudah diakses tetapi di saat yang
sama juga kerap diperlukan. Arsip dari memori produksi lainnya yang juga sangat
krusial dihadirkan ialah catatan tentang proses berjibaku dengan teknologi
audiovisual. Mereka yang ingin secara lebih mendalam memahami sinema dan sejarah
teknologinya sebetulnya butuh mengakses pengetahuan-pengetahuan semacam ini. Pergeseran
teknologi media dan sinema yang berjalan beriringan dengan silih bergantinya
generasi menuntut adanya moda estafet pengetahuan ide dan pengetahuan teknis
yang mudah diakses oleh ragam generasi di berbagai lokasi di negeri ini. Narasi
pengetahuan teknologis yang selama ini kita tahu pun umumnya adalah narasi
teknologis global dan kerap luput menangkap detail-detail konteks yang terjadi
di Indonesia.
Renungan ini
membuat saya berpikir bahwa Flickering Spirit Open Studio Miles Films
meletakkan memori-memori dari proses produksinya bukan semata dalam rangka nostalgia
melainkan sebagai semacam bentuk historiografi informal tentang perjalanan
perubahan teknologi produksi audiovisual pada industri sinema Indonesia.
Menuturkan kembali perjalanan dari seluloid menuju digital pun agaknya semakin
menemukan urgensi di hari ini agar sejarah praktik produksi audiovisual kita
tetap bisa tertuturkan pada generasi yang lebih muda, yang kini tentu lebih
akrab dengan lanskap teknologi digital. Bahkan mungkin tak berlebih jika saya
katakan bahwa generasi kini lebih akrab merekam dengan smartphone
ketimbang dengan kamera, sebagaimana laiknya bagian dari gejala zaman yang tak
bisa dielakkan.
Memasuki ruang
penyimpanan arsip seluloid film-film Miles, saya pun tidak bisa tidak merasa
kagum. Menyimpan seluloid bukanlah perkara mudah bagi sebuah negara tropis yang
infrastruktur politik dan fisiknya belum sepenuhnya insaf akan pentingnya tata
kelola arsip yang baik dan mapan. Seluloid-seluloid film bisa meleleh jika
terus dipapar udara panas dan lembab khas tropis. Dengan demikian, kehadiran mesin
pendingin yang menyala 24 jam selama 7 hari pun menjadi sebuah keharusan. Belum
lagi perlunya pengecekan berkala dan penyematan metadata yang tepat bagi
arsip-arsip yang sifatnya temuan. Tak pelak, manusia-manusia yang punya
pengetahuan dan keahlian pada bidang ini pun menjadi bagian dari kebutuhan
primer pengelolaan arsip kultural.
Dari sini,
bisa dibayangkan bagaimana pengelolaan pengetahuan, sejarah, arsip dan memori harus
bergandeng erat dengan tata kelola ekonomi dan organisasi yang sehat. Perihal ini
mengingatkan kita tentang tantangan praktik pengelolaan arsip audiovisual di
era digital; sebuah era yang memungkinkan produksi audiovisual dalam jumlah masif. Kondisi spasial
penyimpanan arsip menemui wajah baru saat bukan hanya ruang fisik yang harus
dikondisikan tetapi juga ruang penyimpanan digital.
Akses dan
Cakrawala Pengetahuan
Terbukanya cakrawala
internet pun ternyata tak semata-mata langsung membuka serta cakrawala akses
pengetahuan. Produksi informasi dan citra yang bertubi-tubi berkelindan dengan
konsumsi informasi minim jeda membuat kepala manusia rawan kalap dan rapuh di
hadapan praktik hoax, disinformasi, dan misinformasi. Menuliskan sejarah yang
sudah dipiuh dan disepuh pun semakin mudah. Menemukan historiografi, linimasa, dan
pengetahuan kontekstual yang tepat dan benar menjadi kian menantang. Saat
segalanya melimpah, praktik seleksi dan kurasi menjelma menjadi kunci. Dan lagi,
yang punya pengetahuan lah yang punya kuncinya.
Tapi setidaknya
di era kini, di antara kita tak ada yang perlu rebutan remote. Toh remote-nya sudah ada di tangan kita semua.
x