Jejak Air, Memori Air
Samar-samar, ingatan saya mengenai Ciliwung dimulai dari tayangan berita-berita di TV yang mengabarkan peristiwa banjir yang mendera kawasan-kawasan di pinggiran kali tersebut. Bagi saya yang tinggal di pedesaan Pemalang, sejauh kurang lebih 300 kilometer dari Jakarta, berita-berita banjir bandang yang menghantui kawasan pinggiran kali di Jakarta sebetulnya terdengar tak biasa. Di tempat tinggal saya sendiri, setidaknya hingga 2020 lalu, sungai jarang sekali meluap hingga menyebabkan banjir bandang.
Ketika mulai tinggal di Jakarta sebagaimana perantau umumnya, pengalaman banjir itu tak lagi terelakkan. Hujan deras sebentar saja telah mampu membuat jalanan dipenuhi air, bahkan hingga setinggi dengkul orang dewasa. Saya ingat, di awal tahun 2013 terjadi banjir besar di Jakarta akibat hujan lebat berhari-hari di kawasan Jakarta dan sekitarnya sehingga membuat kali Ciliwung meluap. Volume air yang dahsyat di tahun itu bahkan hingga membuat jebol tanggul Latuharhary, memaksa jalanan Rasuna Said ditutup dan macet berat. Untuk pertama kalinya, saya mengalami luapan kali Ciliwung yang membanjiri Jakarta.
Di tahun 2016, nama Ciliwung kembali santer terdengar di media. Namun kali ini bukan karena banjir yang tengah terjadi. Melainkan karena rencana penggusuran terhadap kawasan hunian di sekitar kali Ciliwung dalam rangka naturalisasi kawasan pinggiran sungai untuk mencegah banjir. Saya ingat betul, ada sejumlah kampung yang di tahun itu terancam mengalami penggusuran. Protes dan demo terjadi secara massif karena kampung-kampung yang dituduh sebagai hunian liar itu sebetulnya telah ada di tanah tersebut sejak lama, atau setidaknya sejak masa kolonial Belanda. Pada akhirnya, kampung-kampung tersebut betul-betul mengalami penggusuran dan pinggiran sungai pun diberi tembok tanggul beserta jalan beton, sebagaimana direncanakan oleh pemerintah.
Sketsa oleh Anggraeni |
Meski telah mengenali nama Ciliwung sejak lama, sejujurnya
saya lebih sering sekedar melintasi sungai itu, atau sesekali berdiam
memperhatikan orang-orang bermain layangan di jembatan yang terbentang di atas
Kali Ciliwung di daerah Kalibata. Pemandangan bermain layang-layang di atas
kali itu pun langsung saya jumpai di kali pertama mengunjungi Bukit Duri di
tahun 2022 dalam rangka sebuah kolaborasi penelitian tentang air bersama
seorang kolega yang tengah studi pascadoctoral di Jerman. Dewasa dan anak-anak di
Kampung Pulo yang lokasinya di seberang Bukit Duri, dipisahkan hanya oleh
sekelok kali, kerap bermain di atas tembok tanggul. Saya dan seorang kawan
memutuskan untuk mengangkat pena dan mulai merekam pengalaman berkunjung ke
Bukit Duri dengan menggunakan garis-garis sketsa. Harapannya, pengamatan dan
perekaman visual secara manual ini dapat membangun familiaritas kami terhadap
kawasan Bukit Duri sebagai sebuah ruang. Lapisan-lapisan visual dari media
massa yang dulunya bercokol di kepala saya tentang Ciliwung yang identik dengan
banjir pun sedikit demi sedikit terkelupas. Ia digantikan dengan
rekaman-rekaman garis tentang anak-anak yang berenang di sore hari di bawah
jembatan Tongtek, bapak-bapak yang memasang kail lalu memancing, warga yang
menanam singkong di tanah pinggiran kali, serta sebuah eretan yang bolak-balik
bergerak dari satu sisi kali ke sisi lainnya. Kehidupan semacam itu lebih kerap
saya jumpai di pedesaan alih-alih di kota semacam Jakarta. Atau barangkali
setidaknya demikianlah stereotype yang saya tahu tentang Jakarta.
Sketsa oleh Anggraeni |
Berjalan kaki menyusuri jalanan di antara hunian warga Bukit Duri dan kali Ciliwung, kesan warna yang saya dapat adalah abu-abu. Tembok tanggul dan jalanan abu-abu mendominasi warna keseluruhan perkampungan sebab tanaman-tanaman yang dulunya ditanam di pinggir kali bersama hunian warga, kini telah raib tergusur. Sesekali saya lihat pot-pot kecil berisi tanaman dijajarkan di atas tembok tanggul. Seseorang nampaknya berusaha menghijaukan lanskap Bukit Duri yang telah menjadi kelabu akibat pembangunan jalan dan tembok tanggul pasca penggusuran.
Ketinggian tembok tanggul tak sama rata sebab ketinggian
muka tanahnya juga berbeda-beda. Pada beberapa tempat, tembok tanggul tak
mencapai 1,5 meter sehingga orang masih bisa dengan mudah melongok melihat
tinggi permukaan air. Namun di beberapa titik, tembok menjulang begitu tinggi sehingga
melihat tinggi permukaan air pun makin sulit. Dalam perbincangan saya dengan
beberapa warga, kenangan mereka terkait Bukit Duri dan Ciliwing dulunya diisi
dengan pengalaman nongkrong bersama kawan di pinggir kali yang teduh.
Meski masih bisa nongkrong di pinggir kali dengan duduk di atas tembok
tanggul, namun pinggiran kali kini tak lagi teduh dan hubungan tubuh warga
dengan tubuh air pun serasa disekat tembok. Tinggal di pinggir kali, tapi
jarang melihat kali.
Sketsa oleh Anggraeni |
Melihat kali sebetulnya adalah bagian dari keseharian warga yang cukup esensial sebab warga dari dahulu secara otodidak belajar mempersiapkan diri mengatasi banjir yang kerap datang. Mereka melakukannya dengan menghitung ketinggian muka air di kali, melihat berita di TV tentang hujan di kawasan Jakarta dan sekitarnya, serta melihat berita tentang ketinggian air di pintu air Katulampa. Aspek-aspek tersebut membuat warga dapat menghitung kemungkinan jeda waktu kapan air banjir datang sehingga mereka bisa mempersiapkan evakuasi diri secara mandiri. Dekade-dekade hidup dalam kemungkinan banjir yang rutin sebagai warga bantaran sungai telah membuat warga memahami banjir sebagai bagian dari siklus alam yang hanya perlu dihadapi. Pada beberapa orang, banjir bahkan menjadi sebuah potensi ekonomi untuk berjualan mie rebus dari lantai 2 rumahnya yang tak tergenang air. Adaptasi warga terhadap luapan air sungai ini bisa dilihat lebih jauh pada perabotan-perabotan warga yang relatif didominasi material yang mudah dibersihkan seperti plastik.
Pada malam tahun baru 2020 saat hujan begitu deras turun di
Jakarta dan sekitarnya pasca pinggiran kali telah dibuat tanggul, hitungan
warga dalam memperkirakan datangnya banjir tiba-tiba meleset. Air yang dikira
masih akan datang beberapa jam lagi, tiba-tiba meluap deras membanjiri
pemukiman dan membuat banyak barang tak sempat dievakuasi. Pompa air yang
disiapkan pemerintah untuk membuang luberan air sungai yang masuk ke area
pemukiman warga ternyata rusak dan tak bisa bekerja. Banjir pun datang dengan
ketinggian yang luar biasa. Seringkali warga menunjuk pada area sejajar kepala
di tembok rumahnya untuk mengindikasikan capaian ketinggian banjir kala itu.
Sampai kini, kami tidak tahu persis faktor apa yang membuat
hitungan waktu kedatangan banjir itu meleset; apakah perubahan pada pinggiran kali
yang ditanami beton merubah kecepatan arus air dan kemampuan penyerapan air oleh
tanah? Atau adakah faktor-faktor lain di luar tubuh sungai itu sendiri? Yang
jelas, air kala itu dengan cepat merembes keluar dari gorong-gorong di dalam gang-gang
perkampuangan yang memang terhubung dengan kali.
Itulah banjir besar terakhir yang dialami warga Bukit Duri
pasca penggusuran 2016 dan pasca pembangunan tembok tanggul. Sesudah itu, hujan
belum pernah mencapai intensitas curah yang sedemikian parah lagi. Jikapun air
meluap dan merembes lewat gorong-gorong, pompa-pompa air yang disiapkan
pemerintah pasca penggusuran pun diaktifkan untuk memompa kelebihan air di
gorong-gorong warga agar bisa dibuang kembali ke sungai. Logikanya sebetulnya
agak lucu, sebab luapan air dari kali dipompa untuk dibuang kembali ke kali
supaya bisa cepat-cepat mengalir menuju laut tanpa membikin banjir.
Sketsa oleh Anggraeni |
Tembok tanggul dan jalanan beton adalah corak visual yang
paling signifikan dalam hal memperlihatkan perubahan pasca penggusuran. Namun
di balik itu, tentu ada pengetahuan warga tentang lokasi tempat tinggalnya yang
juga mengalami perubahan, baik bagi mereka yang tetap tinggal di Bukit Duri
maupun yang direlokasi ke rusunawa di Rawa Bebek.
Lanskap Bukit Duri yang horizontal dengan larik-larik gang
tak beraturan di dalamnya menyimpan cerita-cerita tentang bagaimana sumber air
seringkali digunakan bersama-sama oleh warga. Kawasan ini didirikan sebagai
kawasan hunian untuk pegawai perusahaan kereta api sejak zaman kolonial Belanda
dan sampai kini sebagiannya masih berbatasan langsung dengan Dipo KRL PT KAI
cabang Bukit Duri. Rumah-rumah di kawasan ini menyimpan cerita tentang
arsitektur di masa lalu yang rupanya menggunakan ruang antar belakang rumah
warga sebagai ruang bersama untuk mengakses sumber air bersih dalam bentuk
sumur timba dan sumur pompa tangan. Di beberapa rumah masih ditemukan bak mandi
yang di satu sisinya menjorok keluar yang digunakan untuk menyalurkan air dari
sumur timba atau pompa ke dalam kamar mandi di rumah. Satu sumur akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan beberapa rumah. Bentuk interaksi semacam itu kepada
air sebetulnya masih sering terjadi sampai hari ini meski sebagian besar warga
sudah membuat sumur bor dangkal untuk mengakses air tanah di rumahnya
masing-masing secara privat.
Sketsa oleh Anggraeni |
Sketsa oleh Anggraeni |
Sketsa oleh Anggraeni |
Di bagian lain kawasan ini dimana sejumlah rumah warga tidak
memiliki kamar mandi pribadi, satu sumur akan dikelilingi beberapa kamar mandi bersama.
Area tersebut menjadi ruang MCK bersama yang disebut warga sebagai ‘bedeng’,
terletak berhadapan dengen deret rumah warga yang tak mempunyai kamar mandi
pribadi. Pada pagi dan sore hari, area tersebut begitu hidup sebab warga
bergantian memompa air, mandi, mencuci. Kebersihan menjadi tanggung jawab
bersama dan gotong royong untuk membersihkan lingkungan bedeng secara rutin
dilakukan.
Gang menjadi sejenis ruang untuk kehidupan publik saat orang lalu lalang, namun ia juga untuk kehidupan domestik saat orang mandi dan mencuci di sekitar sumur pompa dan timba yang ada dalam gang. Di kala sumur bor dangkal menghasilkan air yang keruh serta saat pemadaman listrik terjadi di kala banjir dan warga tak bisa memakai sumur bor, maka sumur pompa menjadi satu-satunya pilihan yang selalu bisa diandalkan. Alhasil, keberadaan sumur-sumur pompa menjadi warisan penting yang memenuhi kebutuhan air warga dalam situasi darurat. Warga pun banyak bercerita bahwa air dari sumur pompa jarang keruh dan kering meski terjadi banjir atau bahkan kemarau panjang.
Sketsa oleh Anggraeni |
Cukup mudah bagi warga menceritakan pengalaman tubuhnya dengan tubuh air domestik sebab segalanya masih terhubung secara langsung. Sumbatan pada gorong-gorong, pilihan-pilihan sumber air bersih, serta cara mengatasi masalah terkait air relatif terhubung langsung dengan warga sebagai pengguna. Dengan kata lain, sekurangnya pengetahuan tentang darimana air datang dan kemana air pergi begitu mudah ditemukan pada warga yang masih tinggal di Bukit Duri. Di saat tubuh warga dan tubuh air dapat saling bersentuhan langsung, maka pengetahuan tentangnya menjadi lebih terbuka karena telah menjadi bagian dari keseharian.
Hal ini cukup berbeda dengan pengalaman warga yang rumahnya
habis tergusur dan dipindahkan ke Rusunawa Rawa Bebek sebagai gantinya.
Rusunawa Rawa Bebek terbagi atas sejumlah blok yang memang dikhususkan bagi
warga yang menjadi korban penggusuran. Pada blok terakhir atau yang disebut sebagai
blok Merak di sisi paling pojok dari lahan rusun seluas sekitar 17 hektar ini, tinggallah
warga gusuran dari Bukit Duri. Jika perkampungan Bukit Duri terdiri dari
larik-larik gang yang horizontal, rusunawa di Rawa Bebek ini terdiri dari larik
lantai hunian yang vertikal yang dihubungkan oleh tangga.
Secara umum, warga tahu bahwa air yang mereka pakai berasal
dari PAM pada situasi normal dan dari sumur pantek pada situasi darurat, serta
pembuangan diarahkan ke kali kecil terdekat setelah diolah pada IPAL (Instalasi
Pengolahan Air Limbah) bersama. Akan tetapi, jarang sekali warga pernah secara
langsung bersinggungan dengan ruang air PAM dan IPAL sebab ruang-ruang tersebut
adalah ruang dengan akses terbatas. Setiap ruang kontrol PAM dan ruang IPAL di
Rusunawa ini mengelola kebutuhan air bersih dan air limbah bagi empat blok
rusun dengan petugas-petugas perawatan yang berasal dari pengelola rusun.
Kerusakan pada pipa distribusi air maupun pembuangan ditangani oleh para
petugas rusun. Warga tak bisa begitu saja berinsiatif mengakali sendiri karena
dikhawatirkan akan menyebabkan hal-hal yang tak diinginkan pada jaringan pipa
air dalam gedung.
Perpindahan tempat tinggal warga gusuran pun mau tak mau
diikuti oleh perubahan hubungan warga dengan airnya. Dari tubuh yang secara
langsung bersinggungan dan melihat setiap hari sumber air, menjadi tubuh yang
berjarak dengan sumber airnya. Dari hubungan dengan air yang mulanya cenderung
ragam dan menyebar tanpa ada satu pusat/kontrol, menjadi hubungan yang lebih
terpusat dan homogen, sepenuhnya bergantung pada pengelola gedung. Perubahan
hubungan ini pun lambat laun akan mengubah pengetahuan warga tentang airnya,
baik pada air bersih maupun air limbah.
Secara ekonomi, setiap bulan warga membayar air sesuai penggunaannya dengan tagihan yang terpisah dari tagihan listrik. Bagi warga yang terbiasa menggunakan sumur bor dangkal dengan tagihan air dan listrik yang tergabung, perbandingan ekonomi perihal membayar air ini biasanya cukup terasa signifikan. Namun, bagi sebagian warga, beban ekonomi tersebut setimpal dengan kelegaan terhindar dari kemungkinan rutin terkena banjir meski kadang masih dirindukan pula memori-memori tentang air yang dulu dialami selagi tinggal di Bukit Duri.
Sketsa oleh Anggraeni |
Sketsa oleh Anggraeni |
Mural bersama anak-anak dan sejumlah pemuda Bukit Duri |
Seringkali, relasi warga terhadap objek dipengaruhi oleh letak dan posisi dirinya terhadap objek, atau sebaliknya. Ruang pun memiliki dayanya untuk memproduksi suatu pola-pola tertentu. Pengalaman keruangan yang terjadi secara berulang-ulang inilah yang membangun hubungan antara subjek-objek di dalamnya dan menjadi sebentuk pengetahuan tersendiri. Pengetahuan itupun ada kalanya berupa cerita yang jejaknya masih dihidupi setiap hari oleh warga seperti di Bukit Duri namun bisa juga ia hanya ingatan seperti yang terjadi pada warga Bukit Duri yang bermigrasi ke Rusunawa Rawa Bebek.
Pada penghujung kunjungan saya dan kawan-kawan yang terlibat dalam kolaborasi penelitian ini, kami memutuskan membuat mural di dinding-dinding tembok tanggul kali. Gambar-gambar yang kami hadirkan adalah gambar sumur-sumur timba dan pompa tangan yang letaknya ada di dalam gang. Ia adalah cerita-cerita yang terselip dalam larik-larik gang; memori tentang ragam pengalaman tubuh warga bersinggungan dengan tubuh air yang domestik. Cerita-cerita air yang domestik tersebut kami tarik keluar ke dinding tanggul kali, yakni tubuh air yang publik.
Catatan:
Tulisan ini adalah sebagian kecil dari refleksi hasil
kolaborasi dengan CO-Water Research Project University of Kassel yang didanai
oleh program riset dan inovasi Uni Eropa dalam skema Marie Sklodowska-Curie
grant agreement No. 101029193.
Pertama kali diterbitkan di https://laune.id/jejak-air-memori-air-ciliwung/ pada 30 September 2022.