Dari Dapur Mencari Wajah Ekonomi
I. Menggali Si Wajah Lain
Januari, 2019. Saat itu, Otty Widasari
selaku salah satu kurator dari sebuah festival seni berskala kota bernama
Bangsal Menggawe yang berlokasi di kecamatan Pemenang, Lombok Utara, mengajak
saya berpartisipasi di proyek seni dalam festival tersebut. Di tahun itu, ia
berencana melakukan eksperimen dalam kerangka kuratorial Bangsal Menggawe 2019.
Eksperimen itu ia lakukan dengan membuat kerangka pendanaan festival yang sebisa
mungkin mendorong kemandirian finansial dari penyelenggaranya. Untuk mewujudkan
hal tersebut, Otty mengajak sejumlah seniman dan pengamat dari Jakarta – saya
salah satunya – untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan acara ini dengan
melakukan residensi. Namun ketimbang sekedar berfokus pada penciptaan karya
seni, mereka yang diundang dalam residensi Bangsal Menggawe 2019 ini justru
didorong berkolaborasi dengan warga untuk membantu mewujudkan ekspresi kultural
dan inisiasi kreatif warga Pemenang. Ekspresi dan inisiasi inilah yang nantinya
dihadirkan untuk mengisi festival Bangsal Menggawe 2019.
Sejak awal didirikannya pada
tahun 2010, komunitas Pasirputih sebagai komunitas yang menginisiasi Bangsal
Menggawe telah selalu mengusung semangat untuk membangun relasi antar-warga
yang kuat dan padu. Semangat ini pun tak terlepas dari konteks pariwisata di
Lombok Utara yang sangat bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari warga di
Pemenang. Bangsal Menggawe menjadi salah satu bentuk usaha Pasirputih membangun
relasi antar-warga tersebut melalui kehadiran sebuah sarana yang memungkinkan
warga masyarakat lokal di Pemenang menyalurkan ekspresi kulturalnya. Semangat
dan usaha tersebut kemudian terus dirawat oleh komunitas Pasirputih dengan berkomitmen
melaksanakan Bangsal Menggawe sebagai pesta rakyat tahunan.
Pada pelaksanaan pertamanya di
tahun 2016, Bangsal Menggawe mengambil tema kuratorial “Membasaq”. Sedangkan di
tahun 2017, Bangsal Menggawe mengambil tema “Siq-Siq O Bungkuk”. Pelaksanaan
Bangsal Menggawe ketiga yang tadinya ditetapkan pada tahun 2018 harus mengalami
penundaan dengan terjadinya rentetan gempa yang melanda Lombok pada Agustus
2018 lalu. Getaran bumi tak hanya mengguncang infrastruktur fisik kota
Pemenang, namun juga bangunan sosial-ekonomi yang telah lama menopang
keseharian warga. Di tengah situasi tersebut, terdapat sebuah dorongan di
antara warga untuk tetap melaksanakan pesta rakyat tahunan Bangsal Menggawe
ini. Hal ini sebetulnya tidak mengejutkan sebab sejak pertama dilaksanakannya
Bangsal Menggawe, warga merasakan kesenangan dan rasa memiliki terhadap Bangsal
Menggawe itu sendiri. Guncangan saat gempa sepertinya justru menguatkan
kebutuhan akan kehadiran peristiwa semacam Bangsal Menggawe, terutama saat
gempa seolah telah merobohkan segala yang dimiliki warga.
Kuratorial Otty Widasari dan
Muhammad Sibawaihi dalam Bangsal Menggawe 2019 yang berjudul “Museum Dongeng”
melihat kondisi tersebut dengan berusaha meraup kembali “peninggalan” yang
masih dimiliki warga Pemenang. Dongeng menjadi sebentuk jejak peradaban warga
Pemenang yang tetap hidup meski diguncang gempa dan ia tersemat dalam setiap aspek
kehidupan sehari-hari warga Pemenang. Ia dapat dibaca pula sebagai bentuk
pengetahuan maupun jalinan nilai dan norma sosial warga, yang pada Bangsal
Menggawe 2019 hendak diaktivasi dan dibingkai dalam sebuah peristiwa seni
berskala kota.
Kuratorial yang juga menjadi
proyek seni inisiasi Otty Widasari ini kemudian dimulai dengan mengadakan
residensi selama satu bulan pada Februari 2019 dengan puncak acara Bangsal
Menggawe pada 2 Maret 2019. Dari Jakarta, Otty mengurasi sejumlah seniman
dan pengamat dengan terlebih dahulu meminta mereka mengajukan proposal
pendanaan. Tujuan hal ini cukup sederhana, yakni untuk mendorong kemandirian
para seniman dan pengamat yang dikurasi ini dalam memikirkan strategi produksi
tanpa bergantung sepenuhnya pada mekanisme pendanaan yang terpusat pada
institusi. Dari proposal ini, induk organisasi yang menaungi para pegiat seni
ini yaitu Forum Lenteng, mengalokasikan sejumlah dana sebagai bantuan modal
produksi dengan harapan bahwa dana ini akan menjadi pemantik bagi terwujudnya
kemungkinan-kemungkinan yang lain, meskipun jumlah dana tersebut tak banyak.
Masing-masing dari seniman dan
pengamat ini akan fokus pada bidang-bidang yang berbeda. Maria Silalahi
(seniman) akan membuat terompet gigantis dari limbah setempat bersama seorang
warga Pemenang bernama Mintarja, Pingkan Polla (seniman) akan berkolaborasi
dengan seniman teater setempat yang bernama Ana dan Gozali untuk menggali
persinggungan performans dan teater, Dhuha Ramadhani (seniman) akan
berkolaborasi dengan Imran untuk mengaktivasi arsip audiovisual Pasirputih, Theo
Nugraha (seniman bunyi) akan bekerja dengan bebunyian yang ada di Pemenang
selama proses ia residensi di sana, serta Manshur Zikri (seniman, peneliti)
akan membaca Bangsal Menggawe sebagai sebuah karya secara keseluruhan. Saya
sendiri diajak Otty untuk berusaha membaca wajah lain dari ekonomi, yang
berkaitan dengan eksperimen praktik pendanaan dalam proyek Bangsal Menggawe
2019 ini.
Wajah lain ekonomi, wajah yang bagaimanakah
itu?
Pertanyaan ini menjadi jangkar utama
saya untuk merekam dan mencoba membaca praktik-praktik yang berlangsung selama
persiapan dan pelaksanaan residensi Bangsal Menggawe, hingga setelah puncak
acara terlalui. Berangkat dari kejengahan Otty menyaksikan intrik-intrik yang
selalu harus dilakukan demi mengakses dana publik di pemerintahan secara
optimal, eksperimen pendanaan yang dilakukan Otty ini mendorong siapa pun yang
terlibat untuk berinisiatif mengumpulkan dan mengelola sumber daya yang mereka
miliki. Seniman dan pengamat yang datang dari Jakarta mengajukan proposal untuk
pembiayaan proses berkaryanya di Lombok. Proposal ini kebanyakan diajukan ke
institusi. Tetapi dari seniman-seniman itu, ada pula beberapa yang justru
mengajukan proposal ke sesama seniman, meminta dukungan sesama. Tak jarang
mereka pun saling berbagi dana produksi, terutama untuk kebutuhan membeli tiket
penerbangan dari Jakarta ke Lombok dan sebaliknya. Praktik saling dukung ini
pun kemudian berlanjut hingga pada kontribusi-kontribusi seniman dan warga
untuk acara Bangsal Menggawe 2019. Peristiwa seni pun dibangun dengan
mengumpulkan, mengelola dan mentransformasikan sumber daya yang sudah tersedia.
II.
Dari Dapur ke Pasar dan Sebaliknya
Saat memikirkan kembali ide tentang
‘ekonomi’, strategi pengolahan sumber daya menjadi salah satu titik awal
pemahaman tentang basis dari ekonomi itu sendiri. Dalam Bangsal Menggawe 2019,
pengelolaan sumber daya itu dilakukan tanpa harus selalu berpatok dengan model
ekonomi berbasis transaksi, yang mana kerap kali melibatkan uang sebagai
ekspresi pertukaran nilai. Bersisian dengan model ekonomi berbasis transaksi,
terjadi pula model ekonomi yang mengetengahkan intensitas interaksi sosial
sebagai basis terjadinya pertukaran. Meskipun ekonomi sangat berbasis material,
pada akhirnya persoalan ekonomi pun tidak melulu tentang aspek material sebab
pengorganisasian sumber daya kemudian justru menekankan pada relasi sosial,
baik antar subjek ekonomi maupun terhadap objek ekonomi. Dalam hal ini, relasi
sosial yang dibangun dari interaksi sosial kerap kali menjadi faktor yang
mengubah nilai dalam objek ekonomi atau apa-apa yang dipertukarkan: apakah ia
akan menjadi komoditas atau tidak. Melalui relasi sosial, aksi pertukaran
seringkali malah menghentikan laju gerak sebuah objek ekonomi (benda atau pun
jasa) yang akan menjadi komoditas semata agar menjadi hal yang lain, yang lebih
memberi makna pada ekosistem tempat ekonomi tersebut berlangsung.
Amatan ini berawal dari pengalaman
residensi saya pada proses Bangsal Menggawe 2019 tersebut yang mengamati segala
peristiwa dari dapur, secara harfiah maupun kiasan. Dapur seakan menjadi tempat
bermulanya kerja berkomunitas saat ia tak hanya menjadi tempat diproduksinya
kebutuhan-kebutuhan pangan tetapi juga menjadi tempat antarsubjek ekonomi
saling mengenali kapasitas dan membangun strategi pengelolaan sumber daya.
Jadwal piket dan penjatahan uang belanja yang dilakukan selama persiapan
Bangsal Menggawe 2019 adalah contoh mekanisme yang memungkinkan hal tersebut
terjadi. Setiap piket, satu orang panitia yang datang dari luar Yayasan
Pasirputih akan dipasangkan dengan satu orang panitia dari internal Yayasan
Pasirputih. Duet ini kemudian harus membeli bahan makanan dengan uang senilai Rp.
60.000. Bahan makanan yang dibeli dari uang tersebut kemudian akan dimasak
untuk makan siang dan makan malam seluruh panitia Bangsal Menggawe yang total
berjumlah sekitar 20 orang. Strategi ini bukan hanya soal mengirit pengeluaran
saja, tapi juga untuk mendorong juru masak dan juru belanja sebelumnya agar
bisa mengerjakan hal lainnya selain perdapuran. Selain itu, semua pihak yang
terlibat persiapan Bangsal Menggawe jadi belajar mengatur keuangan, belajar
memasak, belajar mengelola bahan-bahan makanan yang bisa didapatkan sekaligus
belajar mengenal dan bekerja dengan kawan-kawan yang baru. Dengan kata lain,
semua belajar mengolah apa yang sudah ada. Mau tak mau, setiap orang harus
mempelajari detail pengorganisasian sumber daya finansial dan pangan yang
menjadi penopang utama produktivitas proses persiapan Bangsal Menggawe, juga
produktivitas komunitas secara keseluruhan.
Strategi finansial ini kemudian
dilakukan bersamaan dengan berbagai interaksi sosial berupa mengobrol maupun
melakukan tawar-menawar untuk bisa mengakses bahan-bahan yang tersedia dengan
melonggarkan batasan keuangan. Keterbatasan dana tidak berarti gizi dan jumlah
makanan yang tak memadai. Dalam perbincangan saat sarapan pagi saya bersama Bu
An, seorang ibu yang rumahnya saya tinggali selama residensi ini, ia membagi
pengetahuannya kepada saya agar bisa menyiasati kendala keuangan saat giliran
piket belanja dan memasak saya tiba. Ia mempersilahkan saya memanen daun kelor
yang tumbuh subur di halaman rumahnya untuk menjadi bahan baku makanan hari
itu. Hal yang sama ia berlakukan pula bagi Maria saat ia mendapat jatah piket
belanja dan memasak.
Dalam pengalaman lainnya, strategi
piket dan penjatahan uang belanja ini malahan sama sekali tidak menjadi kendala
saat si petugas piket punya hubungan sosial yang baik dengan tak hanya tetangga
dekat rumah, tapi juga dengan para penjual di pasar. Mba Aceq dan Imran,
pasangan suami-istri anggota Pasirputih yang juga adalah pengusaha homestay di
Gili Meno, berhasil memasakkan kami keke (kerang kecil), sop kepiting, tempe, pelecing
kangkung, sambal, beberok, ikan kecil dan besar serta sirup bunga telang. Semua
hanya menghabiskan 52.000!
Saat saya tanya, Mba Aceq malah
tersenyum sambil berkata,”Silaturahmi kuncinya!”. Ia lalu bercerita tentang bapuq
(nenek) penjual ikan yang memberinya keke secara cuma-cuma karena ingin
anak-anak Mba Aceq yang ia sebut sebagai cucunya memakan keke yang
bergizi. Memang, dapur dan pasar mau tak mau adalah dua ruang dengan sifat yang
beda – privat dan publik – tapi senantiasa terhubung erat karena ia menjadi
cermin utama dari mekanisme ekonomi yang paling mendasar: kebutuhan (demand)
dan ketersediaan (supply). Meski demikian, hubungan yang terjadi antara
dapur dan pasar tak melulu transaksional karena interaksi antarwarga pun tak
selalu berkutat pada hal-hal yang sifatnya transaksional sehingga sifat barang
atau jasa yang dipertukarkan pun tidak selalu bernilai ekonomi semata. Barang
atau jasa tersebut pun di satu sisi memainkan peran sebagai token sebuah
hubungan kewargaan yang telah berlangsung bergenerasi-generasi. Dalam hal ini,
nilai-nilai tertentu dalam sebuah ekosistem adalah landasan utama yang hidup
dalam prinsip interaksi antarwarga.
Di Pemenang, barangkali hal seperti
itu lumrah terjadi karena sifat hubungan kewargaan di daerah ini dibangun
dengan landasan kekerabatan yang kental. Sibawaihi yang merupakan pendiri
komunitas Pasirputih sekaligus warga asli Pemenang menceritkan pada saya
tentang istilah mempolong merenten yang menjadi bentuk ikatan
persaudaraan antar sesama manusia di atas bumi Lombok Utara ini. Sekali menjadi
polong, betapa pun tak ada ikatan darahnya, seseorang akan selalu
menjadi saudara, bahkan sampai ke generasi-generasi berikutnya. Dengan prinsip
sosial itulah, kerukunan antarwarga dipelihara sekalipun agama yang dianut di
bumi Lombok Utara tersebut berbeda-beda. Ruang-ruang yang mempertemukan warga
pun menjadi ruang silaturahmi, termasuk pasar dan peristiwa Bangsal Menggawe
itu sendiri.
III.
Membelokkan Laju
Saat menyelenggarakan Bangsal
Menggawe pertama kalinya, semangat pemberdayaan yang diusung peristiwa ini
ialah untuk mendorong warga menjadi pemain utama di lokasinya berada, memproduksi
sendiri kebutuhan mereka dengan mendayakan apa-apa yang berceceran di
keseharian. Senada dengan semangat itu, karya-karya yang mengisi Bangsal
Menggawe pun dibuat. Karya yang dibuat oleh Mintarja dan Maria, misalnya.
Keduanya mengolah sedemikian rupa bahan-bahan yang mereka temukan di Pemenang.
Mereka mengolahnya hingga menjadi sebuah energi yang bergerak yang bermain-main
di antara sistem yang berlaku. Bambu dan botol plastik bekas air mineral yang
banyak ditemukan di Pemenang pun mereka kumpulkan untuk dibangun sebagai
material karya. Menariknya, sesuatu yang
dikira adalah limbah tak berguna justru memiliki nilai ekonomi yang signifikan
di Pemenang. Alih-alih menjadi sampah yang tak terkelola, botol-botol plastik
bekas air mineral di sana telah dikanalkan sejumlah pengepul untuk kemudian
dialihkan ke fungsi yang baru setelah terjual. Ini membuat proses mengumpulkan
botol plastik seringkali harus melewati proses transaksi sesuai dengan nilai
ekonomi yang sudah ada, meski terkadang bisa juga bergeser sedikit dari sistem
itu dengan melakukan tawar-menawar.
Saat mencari bambu untuk
dijadikan kerangka terompet, Maria dan Mintarja justru dengan mudahnya menjauh
dari keharusan bertransaksi dengan uang. Meski sama-sama memiliki nilai
ekonomi, terutama pasca terjadinya gempa saat orang-orang mencari bambu untuk
dijadikan bahan membangun rumah sehingga harga bambu naik dua kali lipat,
mengumpulkan sumbangan bambu dari warga ternyata relatif lebih mudah. Saat
kebutuhan bambu dalam persiapan Bangsal Menggawe melonjak karena panitia harus
menyiapkan obor untuk menerangi garis pantai pada malam doa, beberapa orang di
Pemenang telah siaga menyumbangkan bambu-bambu dari kebun mereka untuk
keperluan Bangsal Menggawe. Puluhan bambu dipotong dan diangkut untuk menunjang
keperluan pesta warga. Memang, banyak warga Pemenang yang memiliki kebun bambu dan
pertumbuhan bambu pun relatif cepat. Untuk mengisi bahan bakar calon obor
tersebut, kami pun mengumpulkan minyak goreng bekas dari rumah-rumah warga dan tempat
usaha makanan sambil mengabarkan berita tentang rangkaian acara puncak Bangsal
Menggawe 2019. Kebutuhan hajatan bersama warga pun dipenuhi dengan ketersediaan
bahan yang ada di dapur warga juga.
Saat mengetuk pintu untuk mengabarkan
pada warga tentang puncak festival Bangsal Menggawe 2019, para penyelenggara
festival pun mengundang warga untuk menyumbangkan senyumnya selama 10 detik untuk
direkam. Ratusan wajah warga yang tersenyum itu kemudian dikumpulkan menjadi
sebuah video yang diputarkan di layar videotron dekat terminal menuju pelabuhan
Bangsal. Videotron tersebut yang biasanya diisi oleh wajah-wajah tokoh yang
bergerak di bidang politik, kala itu justru diisi oleh ratusan wajah warga dari
berbagai latar pekerjaan dan kehidupan. Sepanjang video itu terpampang di sana bersisian
dengan baliho besar iklan pemerintah daerah, sesekali warga berhenti untuk sekedar
menonton wajah tersenyum tetangga dan polong renten-nya – sesama
manusia dari bumi Lombok Utara.
Pagi hari tanggal 2 Maret 2019,
kegiatan senam rudat massal diadakan sebagai kegiatan pembuka untuk puncak
Bangsal Menggawe 2019. Gerakan tari tradisi ini oleh Zakaria, seorang warga
yang menekuni praktik tari rudat, digubah menjadi gerakan senam agar bisa
semakin dekat dengan keseharian warga Pemenang terutama generasi mudanya. Saat
hendak berangkat pagi menuju lokasi senam di pantai Bangsal bagian barat, Bu An
langsung mengingatkan saya agar setelah senam nanti saya mencarinya. Ia akan menakil
atau membawa bekal untuk dimakan bersama. Janji itu saya bawa dengan hati riang
dan menjadi motivasi tambahan untuk memandu senam pagi ini. Gerakan-gerakan
yang baru saya pelajari beberapa minggu belakangan ini dipraktikkan di hadapan
ratusan pelajar dari TK, SD, SMP hingga SMA. Guru-guru dan orang tua mereka pun
turut hadir. Pantai barat di pelabuhan Bangsal yang biasanya penuh kapal dan
penumpang yang hendak menyeberang ke tiga Gili, kala itu dipadati warga dengan
pakaian siap senam. Kurang lebih dua jam kami melakukan senam rudat di bibir
pantai dengan matahari tenggara yang bertengger menyuplai asupan vitamin D.
Janji Bu An segera terpenuhi usai senam massal. Berlarian kecil saya menghampiri Bu An yang sudah menyiapkan sarapan nasi goreng dan aneka lauk. Ia tidak sendirian. Beberapa ibu yang saya kenali sebagai kawannya juga ada di sana, bersuka-ria mengobrol sambal menikmati aktivitas sarapan pagi bersama. Sehari-hari saat di rumah Bu An, aktivitas sarapan pagi atau nyampah ini kami isi dengan obrolan tentang makanan yang enak, resep memasak, strategi dapur hingga ke keseharian di keluarga masing-masing. Saya tahu persis Bu An tidak pernah absen dari rutinitas mengurus rumah. Buah dari ketelatenannya itu adalah kebun yang diisi berbagai buah tropis, sayuran dan bumbu dapur yang nyaris selalu siap dipanen saat dibutuhkan. Ketika gempa terjadi, Bu An bercerita bahwa kebun inilah yang menjadi tempat pengungsiannya bersama warga. Di sana, orang-orang jadi tidak kelaparan karena peristiwa gempa kebetulan berbarengan dengan musim panen buah dan sayuran di kebun Bu An. Kawan-kawan Pasirputih yang tengah bergiat dengan ide swasembada pangan pun jadi kerap mengobrol dengan Bu An perihal tanam-menanam dan masak-memasak, persis seperti yang terjadi saat saya nyampah sehari-hari bersama Bu An. Tapi kali ini, nyampah kami pindah ke pinggir pantai bersama ratusan warga lainnya.
Bu An berseloroh,”Wah, gara-gara Pasirputih pagi-pagi kita malah gak di dapur. Pagi-pagi kita malah nyampah di pantai. Enak!” Ia lalu tertawa bersama kawan-kawannya. Anak bungsunya yang bernama Khori kemudian berlari menyambut ombak di bibir pantai.
Tetapi tak cuma itu. Peristiwa nyampah bersama tersebut rupanya menjadi momen tercetusnya ide dari Bu An dan kawan-kawannya untuk memasak camilan yang bisa disajikan untuk kegiatan ibadah bersama malam nanti. Memang, rangkaian kegiatan puncak Bangsal Menggawe ini terdiri dari tiga kegiatan utama: senam rudat massal di pagi hari, final Bangsal Cup di sore hari, dan berdoa bersama di Pantai Bangsal di malam hari. Pada acara doa bersama tersebut, umat dari ketiga agama berbeda yang ada di Pemenang akan berdoa bersama sesuai keyakinan masing-masing. Umat Islam, Hindhu dan Buddha berkumpul bersama di pantai Bangsal untuk kali pertama setelah deraan gempa dan tsunami mengguncang tak hanya Lombok Utara, tetapi juga beberapa lokasi lainnya di Indonesia. Pantai yang sejak dulu adalah lokasi yang sakral bagi sejumlah penganut keyakinan tertentu dan tempat berkumpul warga untuk bersenang-senang, belakangan memang beralih fungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi saat pariwisata mendominasi kehidupan di Pemenang. Dan ketika gempa terjadi berbarengan dengan bahaya tsunami, hubungan warga dengan pantai menjadi lebih tegang meskipun pantai telah kembali ramai karena aktivitas di pelabuhan harus tetap dijalankan. Hari itu di puncak Bangsal Menggawe, kami memang mengajak warga untuk kembali berkumpul di pantai Bangsal – yang kerap dikatakan sebagai jantung hati orang Pemenang – untuk memulihkan kehidupan warga yang sempat diguncang gempa sembari berdoa bersama.
“Kita senang sekali karena pagi
ini bisa senang-senang lagi di pantai. Makanya kita niatnya mau bikin jajan
untuk pengajian. Kasian anak-anak Pasirputih juga. Kan ini acaranya buat kita
bersama juga. Nanti juga saya mau menakil lagi biar kita bisa makan
bersama.” Kurang lebih demikian ujar Bu An usai senam. Siang hari saat kami
mempersiapkan pertandingan final Bangsal Cup 2019, Bu An bersama kawan-kawannya
memasak kue-kue manis sederhana dan menatanya di kardus-kardus kecil. Inilah
hidangan utama untuk ibadah malam nanti. Dan seperti usai senam massal pagi
tadi, Bu An segera mencari saya setelah acara berdoa bersama selesai. Setangkup
nasi dan pelecing kangkung pun kembali masuk mengisi perut saya yang
keroncongan.
IV.
Inikah Wajah Itu?
Siba pernah bercerita pada saya
bahwa sedari dulu, warga memang sudah sering berbagi berbagai hal dalam
kesempatan-kesempatan tertentu. Bambu, misalnya. Sejak lama, warga punya
kebiasaan memberikan bambu secara gratis saat ada hajatan atau
kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak. Jika pun tidak gratis, si penerima
biasanya akan membayar dengan semampunya saja. Bambu tidak sepenuhnya berlaku
sebagai sebuah objek ekonomi karena ia pun bisa menjadi token hubungan sosial
warga saat dibutuhkan. Selain bambu, kebiasaan saling memberi bahan makanan,
bumbu dapur, kelapa dan buah-buahan juga masih sering terjadi di sini. Pasar
pun tidak pernah sepenuhnya berlaku hanya sebagai ruang transaksi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dapur. Ia bisa berlaku pula sebagai ruang untuk merawat
hubungan kekerabatan antarwarga yang dijembatani oleh aktivitas pertukaran itu
sendiri. Tak jarang, sebuah objek ekonomi baik berupa barang maupun jasa
berbelok dari lajunya menuju bentuk komoditas karena aksi pertukarannya tidak
lagi didasari persoalan ekonomi semata. Ia justru menjadi token bagi hubungan
kewargaan yang sudah terjalin dan hendak dipelihara.
Hal inilah barangkali yang
memudahkan proses mengajak warga untuk ‘menyumbang’ dalam pelaksanaan Bangsal
Menggawe. Hubungan kewargaan yang terjalin, secara sadar atau tak sadar, telah
meletakkan pondasi yang kokoh bagi munculnya inisiatif kontribusi dari warga untuk
ekosistem tempatnya berada. Setidaknya, hal tersebut terus dilakoni oleh
individu-individu tertentu dalam ekosistem di Pemenang yang kemudian menyebar
ke individu-individu lainnya dalam ekosistem yang sama, seperti jaringan
komunikasi dari warga ke warga yang tidak terputus. Hubungan kewargaan inilah
yang dalam proses Bangsal Menggawe terus diaktivasi untuk menuju pada ekonomi
kolektif yang mandiri.
Berbagai strategi untuk mengakses
dan mengelola sumber daya dalam rangka festival Bangsal Menggawe, baik secara
kekaryaan seni maupun teknis acara, menjadi suatu bentuk aksi aktivasi terhadap
elemen-elemen yang ada pada warga. Seniman dan warga yang berkarya didorong
untuk menjadi aktor yang bergerak aktif mengaktivasi jalinan relasi sosial
antar-warga yang diharapkan memunculkan wajah-wajah lain dari sebuah sistem ekonomi
dalam ekosistem tertentu. Sehingga dengan kata lain, produksi Bangsal Menggawe
pun menjadi aksi terapeutik yang menstimulasi kembali titik syaraf dalam tubuh
sosial warga Pemenang agar memugar kembali bangunan sosial-ekonomi yang sudah
hidup di antara warga bergenerasi-generasi lamanya.
Catatan residensi
Jakarta, April 2020.