Auteur ex Machina

Panel 1 “Anonimitas, Amatirisme, dan Habitus Gambar Bergerak”, Forum Festival 2017, ARKIPEL Penal Colony

Ketimbang dikatakan sebagai sebuah pemikiran yang telah mantap, barangkali esai ini lebih tepat dikategorikan sebagai sebuah penawaran abstraksi pemikiran spekulatif yang sedang dalam proses pengembangan. Tawaran ini dimulai oleh pertanyaan-pertanyaan seputar perkembangan teknologi digital, intelegensia yang ditawarkannya, serta dampaknya pada tubuh-tubuh realitas yang, selain menjadi pembuat dan pengguna dari teknologi tersebut, juga telah menjadi bagian darinya.

Hari ini, ketika teknologi digital semakin berkembang pesat, sirkulasi gambar pada dunia digital pun semakin cepat dengan topik maupun isu yang kian beragam. Dalam kaitanya dengan teknologi gambar bergerak, hari ini, pengalaman imersif menonton gambar bergerak dimungkinkan terjadi dalam ruang paling intim secara individual dan menjadi bagian dari aktivitas keseharian. Sinema yang mulanya hanya bisa ditonton pada ruang gelap di layar besar, kini pun hadir di dalam genggaman dan bisa ditonton di mana pun. Smartphone dan aplikasi-aplikasi bawaannya, yang didukung oleh pengembangan teknologi digital, memungkinkan seseorang menonton, membuat, dan menyebarkan gambar, baik yang diam (still image) maupun bergerak (moving image). Sirkulasi yang cepat dan masif membuat garis batas tentang siapa yang memproduksi, mendistribusi, dan mengonsumsi menjadi buram, begitu pula tentang signifikansi atas pengkaryaan yang amatir maupun yang profesional.

Sebagaimana gambar yang dengan mudah bergerak pada dunia simulasi digital, wacana pun menjadi dengan mudah tersirkulasikan dan menggerakkan tubuh-tubuh realitas. Demonstrasi terhadap mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, terkait klaim penistaan agama yang dipicu oleh sirkulasi sebuah video amatir, menjadi salah satu contoh yang, meskipun problematis, cukup mengindikasikan bagaimana gambar bergerak yang tersirkulasi di dunia digital pada akhirnya berimplikasi pula pada mobilisasi isu di dunia non-digital. Dalam konteks politik antar-bangsa, Revolusi Arab yang teramplifikasi melalui media sosial juga menjadi catatan penting tentang bagaimana sirkulasi di dunia digital terhubung dengan sirkulasi realitas.

Selain narasi-narasi besar tersebut di atas, sirkulasi gambar bergerak di dunia digital pun melibatkan pula langgam bahasa dan gestur yang melekat dengan konteks lokasi di mana dan oleh siapa gambar-gambar tersebut diproduksi. Citraan yang dihasilkan memang sebagian besar masih diproduksi dalam kerangka kesadaran sebagai pengguna, yang belum tentu diintensikan untuk mengkritik atau menjadi tandingan wacana dominan. Sebagian lainnya, di antaranya seperti yang diproduksi dalam program Vlog Kampuang oleh Komunitas Gubuak Kopi(Solok, Sumatera Barat) dan dalam proyek “30 Hari Pemenang dalam BingkaiKamera” oleh Hamdani dari Komunitas Pasirputih (Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat), membawa serta aspek eksperimentasi pengkarya dalam artikulasi konteks lokal pada bahasa visualnya serta perihal distribusinya yang menggunakan lini-lini media sosial. Selain keduanya, ialah praktik-pratik tak bernama lainnya yang ragam secara visual dan menampilkan imaji yang ditangkap oleh kamera yang bukan lagi sekadar menjadi mata, namun juga menjadi perpanjangan dari anggota badan. Citra-citra yang diproduksi dan disirkulasikan secara digital semacam ini pun menjadi salah satu bentuk interface dari pengetahuan yang lain, sekaligus menjadi pengetahuan itu sendiri, yang kemunculannya lekat tak hanya dengan perkembangan teknologi perekam, tetapi juga dengan bagasi pengetahuan yang memungkinkan subjek merekam.

Jika auterism atau pengkaryaan saya andaikan sebagai sebuah konsep atau gagasan tentang produksi pengetahuan sehingga pengkarya tak hanya membentuk dan mengarahkan gambar yang representatif namun juga presentasi realitas, maka dalam hal ini, intelegensia teknologi perlu dipandang sebagai elemen yang aktif dan memengaruhi corak produksi gambar, pengetahuan atau karya, baik secara subtil maupun gamblang, dan menggerakkan bukan hanya citraan di dunia digital tetapi juga tubuh-tubuh yang mencitra.

Mulanya pun adalah sebuah karya, teknologi, melalui ulang-aliknya kemudian menghasilkan sebuah perangkat yang memudahkan. Universalisasi metode tentang bagaimana manusia menyikapi masing-masing tantanganlah yang menjadi intelegensia umum[2] yang dilekatkan pada perangkat-perangkat teknologis. Intelegensia, yang sebelumnya hanya termanisfestasi dalam kesadaran manusia, kemudian ditransformasikan ke dalam berbagai perangkat yang mengondisikan kemudahan dan otomatisasi kerja. Pada saat yang bersamaan, sebagai sebuah interface atas suatu intelegensia yang memudahkan dan mengotomatisasikan kerja, perangkat-perangkat ini pun meregulasi operatornya untuk bekerja sesuai dengan mekanisme intelegensia yang telah dibakukan. Gestur, habitus, dan bahkan cara melihat atau merespon, di antaranya, adalah aspek-aspek yang kemudian turut ter-regulasi.

Ketika teknologi multi-fungsi smartphone muncul dan memungkinkan aktivitas merekam dan menonton terjadi di mana saja, orang pun dengan leluasa dapat memproduksi citraan dirinya, lokasinya, dan wacana yang ingin dikemukakannya. Kita pun dapat menonton gambar-gambar bergerak yang diproduksi oleh entah siapa, turut merayakannya dan menyebarkannya kembali. Namun di satu sisi keleluasaan ini bukannya tanpa risiko tentang subjektivitas dan pengetahuan macam apa yang terbentuk dan untuk siapa keduanya terproduksi ketika intelegensi teknologi yang digunakan pun telah sedemikian rupa dibuat sebagai perangkat akumulasi kapital untuk menguntungkan segelintir pihak. Jika kita melihat sinema sebagai sebuah peluang untuk agensi aktivisme dan komunikasi wacana kritis melalui visual, maka persoalan atas sirkulasi wacana yang dimediasi gambar dalam dunia digital dan dapat diakses kapan pun, dimana pun, bahkan di ruang-ruang paling intim, menjadi suatu wacana yang perlu didiskusikan. Aspek kritis atas intelegensia yang telah dilekatkan pada teknologi menjadi intervensi yang diperlukan untuk membuat diversifikasi sekaligus menyiasati regulasi intelegensi teknologis.

Sama halnya dengan sinema yang meletakkan montase sebagai aspek penting dalam menjahit keseluruhan sekuens gambar sebagai sebuah kesatuan filem, apa yang hendak diletakkan dalam bingkai pada gambar bergerak di dunia digital dan bagaimana meletakkannya, juga menjadi sebuah tindakan yang krusial yang tak hanya bisa menjadi estetis tapi juga politis. Jika teknologi sebagai moda utama akumulasi kapital, dan citraan-citraan yang kini tersirkulasi di dunia digital adalah produk dari intelegensia yang melekat pada mekanisme teknologi itu sendiri, maka tubuh yang mencitra beserta pengetahuannya adalah potensi yang memungkinkan diversifikasi produksi atas bahasa citraan tersebut. Bahasa yang menganalkan potensi kritik dan counter atas wacana dominan yang cenderung tidak meletakkan keberpihakan teknologi pada publik.

Dalam hal ini, pengetahuan kolektif yang memuat potensi kritik dan counter atas wacana dominan menjadi penentu atas perimbangan corak produksi citra. Eksperimentasi dititikberatkan, salah satunya, pada kekuatan kolektif untuk menggerakkan gagasan dan pengetahuan tentang penggunaan dan bahkan kolaborasi dengan teknologi yang memungkinkan produksi wacana tandingan yang berpihak pada publik melalui sirkulasi gambar bergerak di dunia digital. Maka, praktik-praktik produksi gambar bergerak yang disirkulasikan di media digital sebagaimana yang dilakukan oleh komunitas Gubuak Kopi melalui Vlog Kampuang-nya, Hamdani lewat “30 Hari Pemenang dalam Bingkai Kamera”-nya, dan praktik-praktik tak bernama lainnya yang sehari-hari dapat terakses dengan mudah melalui koneksi internet pun menjadi penting untuk diletakkan dalam wacana kritis gambar bergerak hari ini.

Khalayak telah berbondong menjadi warga dunia .net dan tak terkira besarnya data-data citraan yang terunggah pada laci penyimpan data Google, Facebook, Netflix, Youtube, dan sebangsanya. Subjek-subjek mengetuk pagar lahan digital dan masuk untuk menjadi bagian dari pertanian gigantis akan citra dan data, kelak barangkali semua akan berusaha menjadi pengkarya. Teknologi yang membangun panggung bagi gambar bergerak, teknologi pula yang membongkar panggungnya lalu menyorongkan gambar bergerak kembali pada publik. Hari ini, menjadi pekerjaan rumah kita pula sebagai publik untuk tetap melihat dengan kritis tanpa menutup peluang-peluang untuk menyiasati intelegensia teknologi di tengah selebrasi kita atas keleluasan yang (seolah) hadir karena perangkat teknologi. ***



[1] Judul "Auteur ex Machina" ini adalah bagian dari spekulasi dan interpretasi saya yang masih terus dikembangkan atas pembacaan terhadap fenomena teknologis dan politik pengetahuan serta konsep-konsep seputar Machine dan General Intellect yang telah diwacanakan oleh Marx, Guattari, Deleuze, Virno, dan Harun Farocki.

[2] Mengacu padai istilah General Intellect yang disebutkan dalam buku Grundrisse (1858) karya Karl Marx dan dalam catatan Paulo Virno, “General Intellect” (http://www.generation-online.org/p/fpvirno10.htm), yaitu intelegensia dinamis yang terdiri atas kombinasi berbagai intelegensi sebagai konsep yang hidup dan non-individual yang kemudian dibakukan, untuk digunakan dalam kerangka produksi kapital.

[3] Tulisan ini dibuat dalam rangka presentasi pada Panel 1 Forum Festival 2017 yang bertajuk “Anonimitas, Amatirisme, dan Habitus Gambar Bergerak”, ARKIPEL Penal Colony – 5th International Documentary and Experimental Film Festival, tanggal 18 Agustus 2017 di Goethe Institute Indonesien, Jakarta. Liputan mengenai acara tersebut dapat diakses di "Notes on Forum Festival, Panel I".