Cahaya dan Kekinian


Kalau dipikir-pikir, lucu juga bahwa sebetulnya apapun yang kita lihat dan dengar sebetulnya adalah efek. Cahaya bergerak menyentuh permukaan benda lalu memantulkan cahaya, kemudian mata lewat proses optik menangkap cahaya yang dipantulkan tsb lalu mempersepsikannya. Sedangkan bunyi bergerak merambat lewat udara, benda padat dan benda cair untuk menghantarkan getarannya ke gendang telinga kemudian oleh reseptor syaraf diantarkan ke otak buat dipersepsikan.

Ide juga sebetulnya gk jauh-jauh beda. Dia itu gelombang yang butuh medium sebagai penghantar. Bedanya dengan cahaya dan bunyi, proses penghantaran ide bisa lewat medium apa aja tetapi penerimannya sangat bervariasi. Otak mempersepsikan ide jauh lebih rumit daripada mempersepsikan cahaya atau bunyi karena prosesnya sering mengandalkan gak cuma proses indrawi tetapi juga proses kognitif dan afektif. Bagian dua itu tuh yang rasanya seolah njlimet.

Kalau kata filem Nostalgia of The Light, ketika kita melihat bintang sebetulnya kita tengah melihat cahaya dari masa lalu. Cahaya membutuhkan proses merambat pada mediumnya untuk sampai ke mata manusia untuk dipersepsikan. Begitu pula dengan proses melihat benda-benda dekat di sekitar ketika, segalanya butuh waktu untuk mencapai persepsi kepala hingga mewujud dalam bentuk visual yang kita ketahui selama ini. sehingga, lagi-lagi menurut filem ini, tak ada sesuatu hal pun yang betul-betul kekinian sebab ia selalu tertunda untuk tiba menjadi sebuah pesan pada pusat syaraf. Satu-satunya yang betul-betul kini adalah apa yang terjadi di kepala kita; the present only exists in our mind.

Tapi ada perbincangan lain pula yang saya punya dengan seorang kawan lewat perangkat komunikasi kekinian hari ini yaitu Instagram. Kata kawan, the present only exists as a grammar. Jadi kekinikian itu adalah persoalan bahasa.

Potekan dari tulisan yang gak kelar-kelar sejak 3 Januari 2019.