Judul : Pertolongan Pertama Pada Sinema
Catatan lapangan pasca menonton, 15 Agustus 2016, Foto oleh Anggraeni Widhiasih |
Tulisan ini pun adalah bagian dari luapan kesenangan usai menonton film tersebut. Secara bentuk, sebenar-benarnya saya lumayan terkejut dengan dua film yang saya tonton di Erasmus Huis tanggal 15 Agustus 2016 itu. Jika menilik deskripsi festival film Arkipel, maka jelaslah bahwa film ini ialah film dokumenter dan eksperimental, yang demi Tuhan baru saya kenal lewat festival ini. Awalnya saya gelisah jikalau tidak bisa menikmati film eksperimental dan tertidur di tengahnya, yang mana sering terjadi ketika bosan dengan bagian listening di ujian Bahasa Inggris dan di tengah kebosanan lainnya. Tetapi kegelisahan itu terbukti keliru. Entah kenapa saya malah terpukau dengan kedua film itu. Barangkali karena saya terkejut dengan ide jenial pembuat film yang menyampaikan pesan-pesannya lewat film semacam itu.
All That is Somehow Useful merupakan sebuah film pendek buatan sutradara Pim Zwier yang waktu itu ditayangkan. Film asal Jerman ini dirilis pada tahun 2013 dan tayang dalam format warna hitam putih. Sekarang ketika saya mengetikkan judul ini pada mesin perambah google, barulah saya tahu bahwa film berdurasi 8 menit ini memang film eksperimental. Tapi saya tidak akan membahas soal genre-nya. Yang justru ingin saya ungkapkan adalah bagaimana komunikasi visual dari film juga dibantu oleh judul.
Menurut saya, judul dalam film sungguh bisa menjadi sebuah bingkai yang mengarahkan makna bagi gambar-gambar yang bergerak dalam film. Apa yang menjadi kebenaran dalam sebuah film digiring oleh judul sejak awal. Sejak dimulainya sebuah film, judul menjadi semacam panduan atau kerangka berpikir bagi penonton dalam mengintepretasi apa yang sedang ia tonton (dan dengarkan). Musik, teknik pengambilan gambar, naskah dan bahkan aktor pun menjadi komponen penyusun skema kebenaran tersebut. Jika disusun dengan baik dan benar, unsur-unsur itu akan mengacu kembali kepada judul sebagai koridor bagi imajinasi penonton ketika menyaksikan film yang telah utuh. Meski demikian, tentu imajinasi penonton tidak akan pernah seutuh film yang sudah jadi tersebut, terutama jika mengacu pada struktur kesadaran menurut Jacques Lacan yang katanya tidak pernah utuh. Sama halnya dengan imajinasi anda ketika membaca tulisan ini yang mungkin tidak akan seutuh sebagaimana imajinasi yang saya maksudkan.
Salah satu cuplikan adegan dalam film All That is Somehow Useful, diambil dari situs Ecounters Festival (http://encounters-festival.org.uk/competition-countdown-fragments-recollections/) |
Seiring dengan tayangan yang menyajikan proses penyembelihan, pajangan kepala sapi dan mantel bulu domba, persepsi semakin meruncing kepada kategori "barang komoditas". Makhluk-makhluk tersebut kemudian tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bernilai kehidupan saja tetapi juga sesuatu yang punya nilai guna untuk manusia (yang mana adalah spesias yang dominan secara kuasa di muka bumi ini meskipun bayinya adalah yang satu-satunya masih tak berdaya meski telah berusia 5 tahun jika dibanding spesies lainnya), yang dengan demikian punya nilai jual. Demikianlah yang saya tangkap yang setidaknya berelasi dan bahkan dapat dikonfimasi oleh judul film yang dalam Bahasa Indonesia berarti Segala Sesuatu yang Bagaimanapun Juga Berguna.
Salah satu cuplikan adegan dalam film Dark Matters, diambil dari situs Karel Doing (http://www.doingfilm.nl/films/darkmatter.html) |
Sama halnya dengan film sebelumnya, Dark Matters juga tayang dalam format hitam-putih. Selama durasi pemutaran sepanjang 20 menit, warna dan musik film ini seolah ingin mengatakan bahwa visual-visual film ini adalah bagian kelam dari kehidupan seseorang. Potongan foto dan footage kehidupan seseorang ditayangkan dengan cara yang membuat saya merasakan hal yang kelam dari cerita di film tersebut. Saya sendiri sekarang hanya mengingat samar-samar tentang film tersebut, jadi persepsi saya pasti kabur-kaburan. Tapi mungkin persepsi pribadi ini masih bisa dikonfimasi oleh judul yang dalam Bahasa Indonesia berarti Hal-Hal yang Gelap, entah gelap dalam artian periode hidup seseorang atau gelap dalam artian kamar gelap yang menjadi laboratorium pemrosesan film.
Olehnya, saya punya asumsi bahwa judul bisa memberikan bingkai yang membantu penonton memaknai film. Apalagi ketika sebuah film sepenuhnya membincangkan soal bentuk, maka judul sungguh menjadi penolong pertama. Meski demikian, saya juga beranggapan bahwa tidak semua film harus dimaknai sebagai suatu bangunan naratif yang mengacu pada judulnya. Namun sama halnya dengan asumsi saya bahwa judul adalam pertolongan pertama pada sinema, asumsi pada kalimat sebelumnya pun perlu diuji kebenarannya. Apakah dalam hal ini judul juga bisa sepenuhnya menjadi konfirmasi kebenaran dalam sinema? Saya sendiri masih mencoba mencari tahunya.
Jakarta, 15 Agustus 2016
Dari rumah Inabah, tempat pengungsian sementara.