Jatuh Cinta di Kota Lama
Di kota yang terbilang besar ini, becak masih ada di sejumlah titik. Kawasan Utara merupakan salah satu kawasan tertua kota Semarang. Di sekitar sini, kita masih bisa menjumpai banyak tukang becak dengan harga yang cukup mudah ditawar. Tapi jangan pernah tampakkan gaya keturisan Anda atau gaya sok Jakarta, Anda bisa-bisa kena harga yang cukup mahal.
Sembari menyusur Semarang dengan naik becak, saya bermain Pokemon Go. Maklum, hari-hari ini game keluaran Niantic ini tengah melejit. Saya adalah salah satu mudi yang penasaran akan permainan ini. Mumpung ternyata Pokemon bertebarang sepanjang jalan, saya pun asik menangkapi Pokemon.
Sampai kemudian gerimis turun dan saya terpaksa menyimpan ponsel yang tidak anti air ini. Bapak Becak menolak untuk menepi karena kami sudah dekat dengan Spiegel yang konon terletak dekat Gereja Blenduk di Kota Lama. Saya pun menurut sambil mata mulai melihat-lihat kota yang basah oleh hujan; abu-abu dengan wangi tanah basah yang begitu khas.
Hujan dan kamera ponsel jadi berembun |
Sesampainya di Spiegel, saya langsung membuka sebuah pintu di depan saya. Pintunya tak mau terbuka. Aih, rupanya itu bukan pintu masuk resto. Seorang turis lokal menunjukkan jalan masuknya pada saya. Malu-malu sambil berucap terima kasih, saya pun beringsut membuka pintu yang dimaksud.
Sesampainya di dalam gedung Spiegel, mata saya langsung dimanjakan oleh bangunan resto yang klasik namun modern. Begitu luas namun langsung memberi kesan homy. Saya langsung suka sejak langkah pertama. Mata saya tak henti-hentinya menelusur bangunan peninggalan Belanda yang kini menyajikan sebuah bar modern tepat di tengahnya.
Bertemu Nisa sekaligus jatuh cinta terhadap bangunan Spiegel yang ciamik |
Saya menemukan kawan lama saya duduk di sisi lain bar. Ia tengah menyesap secangkir kopi sambil berbincang dengan seorang kawan yang nampaknya dari luar negeri. Kami pun melepas rindu dan ia memperkenalkan pada kawan di sebelahnya yang memang dari luar negeri, Australia tepatnya. Saya langsung ditawari untuk memesan secangkir gelato dari resto. Katanya enak dan murah. Saya pun menurut, memesan satu scope seasalt dan satu scope matcha, total 20.000 rupiah. Dan benar saja, rasanya enak sekali. Saya geleng-geleng. Kok bisa saya tidak pernah sekalipun mengunjungi tempat ini?!
Ternyata kedua kawan saya ini tengah mengerjakan sebuah projek seni untuk festival kota Semarang di akhir bulan. Saya pun berkesempatan menemani keduanya berkeliling kawasan kota Lama. Kami berkunjung ke penginapan kedua kawan saya yang terletak tepat di belakang gedung Spiegel. Keduanya tinggal di kantor sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan pertanian untuk membantu gereja. Saya tak henti-hentinya merasa terkejut sekaligus senang. Bukan karena bangunan tempat tinggal kawan saya yang menarik, tapi justru karena di sana ada banyak barang yang menarik. Mulai dari hasil olahan pertanian, cinderamata dari istri-istri petani hingga koleksi buku tentang ekosospol. Konon, olahan pertanian dan cinderamata ini dijual untuk membantu donasi gereja. Kawan saya bercerita bahwa di sini tinggal pula beberapa biarawati, mungkin untuk mengurus ini itu organisasi. Bangunan ini jelas memiliki konten yang memikat hati, setidaknya bagi saya.
Carly, kawan baru dari Australia. Ia tengah bermain gemas dengan lonceng-lonceng antik. |
Dua kawan yang menemani petualangan hari ini. Di belakang adalah dinding kafe Retro yang nampak nyeleneh tapi menarik. |
Dalam penyisiran kami di Kampung Seni Padang Rani, kami menyempatkan diri mampir di sebuah kafe bernama kafe Retro. Interiornya sangat unik, hampir mirip seperti sebuah museum Era Kemerdekaan. Pemiliknya seorang Tionghoa yang dengan kreatif meletakkan helm-helm prajurit, foto Soekarno dan berbagai barang antik lainnya sebagai pajangan. Bahkan, tembok yang sudah rusak pun malah terkesan menjadi sebuah aksen tersendiri dalam interior kafe ini.
Suasana malam di Spiegel Bar & Bistro |
Malam di Kota Lama, kami memutuskan untuk sedikit bersantai di Spiegel. Beralih dari bar, kami duduk-duduk manis di tengah resto. Memesan cocktail dan beberapa makanan ringan sementara menikmati live music dari band yang bermain di sudut resto. Kawan kami yang berasal dari Australia sempat menyanyikan lagunya bersama band resto. Suaranya luar biasa indah dan lagunya terdengar apik. Saya terkagum-kagum pada apa yang terjadi di hari ini.
Di luar jendela resto, hujan nampak turun dengan deras. Mata saya dimanjakan dengan adegan super romantis ini. Fix, saya jatuh cinta!
Menjelang jam 10 malam, saya pamit untuk meneruskan perjalanan ke kota di kaki gunung yang jauhnya sekitar 1 jam dari Semarang, yaitu Ungaran. Dengan berat hati, saya pun melangkahkan kaki keluar dari Spiegel. Meninggalkan sepotong hati sambil berjanji bahwa suatu hari nanti akan kembali lagi.