Jatuh Cinta di Kota Lama

Bertahun-tahun hidup di sebuah kota yang menarik rupanya belum tentu membuat seorang makhluk semacam saya berkunjung ke ruang-ruang eksentrik kota tersebut. Hingga suatu hari kesempatan dan energi semesta membawa saya berjumpa dengan seorang kawan lama. Spiegel Bar & Bistro di Kota Lama, itulah destinasi yang diajukan kawan lama saya untuk dijumpa. Tentu saya tak tahu tepatnya dimana lokasi itu. Jadi berbekal obrolan lima menit dengan tukang becak dan kesepakatan harga, saya pun menyusuri kawasan Utara kota Semarang.

Di kota yang terbilang besar ini, becak masih ada di sejumlah titik. Kawasan Utara merupakan salah satu kawasan tertua kota Semarang. Di sekitar sini, kita masih bisa menjumpai banyak tukang becak dengan harga yang cukup mudah ditawar. Tapi jangan pernah tampakkan gaya keturisan Anda atau gaya sok Jakarta, Anda bisa-bisa kena harga yang cukup mahal.

Sembari menyusur Semarang dengan naik becak, saya bermain Pokemon Go. Maklum, hari-hari ini game keluaran Niantic ini tengah melejit. Saya adalah salah satu mudi yang penasaran akan permainan ini. Mumpung ternyata Pokemon bertebarang sepanjang jalan, saya pun asik menangkapi Pokemon.

Sampai kemudian gerimis turun dan saya terpaksa menyimpan ponsel yang tidak anti air ini. Bapak Becak menolak untuk menepi karena kami sudah dekat dengan Spiegel yang konon terletak dekat Gereja Blenduk di Kota Lama. Saya pun menurut sambil mata mulai melihat-lihat kota yang basah oleh hujan; abu-abu dengan wangi tanah basah yang begitu khas.

Hujan dan kamera ponsel jadi berembun

Sesampainya di Spiegel, saya langsung membuka sebuah pintu di depan saya. Pintunya tak mau terbuka. Aih, rupanya itu bukan pintu masuk resto. Seorang turis lokal menunjukkan jalan masuknya pada saya. Malu-malu sambil berucap terima kasih, saya pun beringsut membuka pintu yang dimaksud.

Sesampainya di dalam gedung Spiegel, mata saya langsung dimanjakan oleh bangunan resto yang klasik namun modern. Begitu luas namun langsung memberi kesan homy. Saya langsung suka sejak langkah pertama. Mata saya tak henti-hentinya menelusur bangunan peninggalan Belanda yang kini menyajikan sebuah bar modern tepat di tengahnya.

Bertemu Nisa sekaligus jatuh cinta terhadap bangunan Spiegel yang ciamik
Saya mengitari meja bar. Jujur saja, saya tidak familiar dengan aneka minuman di rak bar. Tapi nampaknya sangat lengkap dan profesional. Alun musik jazzy membuat suasana resto ini betul-betul classy tapi anehnya tetap tidak sok eksklusif.


Saya menemukan kawan lama saya duduk di sisi lain bar. Ia tengah menyesap secangkir kopi sambil berbincang dengan seorang kawan yang nampaknya dari luar negeri. Kami pun melepas rindu dan ia memperkenalkan pada kawan di sebelahnya yang memang dari luar negeri, Australia tepatnya. Saya langsung ditawari untuk memesan secangkir gelato dari resto. Katanya enak dan murah. Saya pun menurut, memesan satu scope seasalt dan satu scope matcha, total 20.000 rupiah. Dan benar saja, rasanya enak sekali. Saya geleng-geleng. Kok bisa saya tidak pernah sekalipun mengunjungi tempat ini?!

Ternyata kedua kawan saya ini tengah mengerjakan sebuah projek seni untuk festival kota Semarang di akhir bulan. Saya pun berkesempatan menemani keduanya berkeliling kawasan kota Lama. Kami berkunjung ke penginapan kedua kawan saya yang terletak tepat di belakang gedung Spiegel. Keduanya tinggal di kantor sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan pertanian untuk membantu gereja. Saya tak henti-hentinya merasa terkejut sekaligus senang. Bukan karena bangunan tempat tinggal kawan saya yang menarik, tapi justru karena di sana ada banyak barang yang menarik. Mulai dari hasil olahan pertanian, cinderamata dari istri-istri petani hingga koleksi buku tentang ekosospol. Konon, olahan pertanian dan cinderamata ini dijual untuk membantu donasi gereja. Kawan saya bercerita bahwa di sini tinggal pula beberapa biarawati, mungkin untuk mengurus ini itu organisasi. Bangunan ini jelas memiliki konten yang memikat hati, setidaknya bagi saya.

Carly, kawan baru dari Australia. Ia tengah bermain gemas dengan lonceng-lonceng antik.
Menjelang sore, kami bertiga menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar penginapan. Kami menemukan beberapa toko barang antik di sana. Toko-toko ini berdiri di bawah naungan tenda-tenda dan menjula berbagai pernik klasik nan unik. Barang yang dijual berasal dari berbagai rentang waktu dan lokasi, mulai dari barang peninggalan zaman Belanda, barang dari kerajaan Jawa dan China hingga barang-barang peninggalan kaum aristokrat Jawa. Tapi jangan sedih, di toko-toko barang antik ini pun dapat ditemukan barang-barang modern yang nyentrik seperti aksesoris, kamera dan berbagai kacamata. Jumlah tokonya berderet sangat banyak dalam satu kawasan Kampung Seni Padang Rani, Kota Lama Semarang. Terletak persis di sebelah Taman Srigunting. Harga barang-barang di sini relatif murah asal bisa menawar. Saya sendiri kepincut dengan sebuah kamera polaroid klasik yang sayangnya terlalu mahal, jadi batal membeli untuk sekarang ini.

Dua kawan yang menemani petualangan hari ini. Di belakang adalah dinding kafe Retro yang nampak nyeleneh tapi menarik.

Dalam penyisiran kami di Kampung Seni Padang Rani, kami menyempatkan diri mampir di sebuah kafe bernama kafe Retro. Interiornya sangat unik, hampir mirip seperti sebuah museum Era Kemerdekaan. Pemiliknya seorang Tionghoa yang dengan kreatif meletakkan helm-helm prajurit, foto Soekarno dan berbagai barang antik lainnya sebagai pajangan. Bahkan, tembok yang sudah rusak pun malah terkesan menjadi sebuah aksen tersendiri dalam interior kafe ini.

Suasana malam di Spiegel Bar & Bistro

Malam di Kota Lama, kami memutuskan untuk sedikit bersantai di Spiegel. Beralih dari bar, kami duduk-duduk manis di tengah resto. Memesan cocktail dan beberapa makanan ringan sementara menikmati live music dari band yang bermain di sudut resto. Kawan kami yang berasal dari Australia sempat menyanyikan lagunya bersama band resto. Suaranya luar biasa indah dan lagunya terdengar apik. Saya terkagum-kagum pada apa yang terjadi di hari ini.

Di luar jendela resto, hujan nampak turun dengan deras. Mata saya dimanjakan dengan adegan super romantis ini. Fix, saya jatuh cinta!

Menjelang jam 10 malam, saya pamit untuk meneruskan perjalanan ke kota di kaki gunung yang jauhnya sekitar 1 jam dari Semarang, yaitu Ungaran. Dengan berat hati, saya pun melangkahkan kaki keluar dari Spiegel. Meninggalkan sepotong hati sambil berjanji bahwa suatu hari nanti akan kembali lagi.