Perenungan Seorang Urban

Kota ini lama kelamaan terasa seperti candu.

Awalnya aku bersikeras menyatakan bahwa aku tak akan pernah gandrung dengan kota ini. Selamanya aku akan lebih memilih pinggiran kota yang sejuk, lengang dan jauh dari hiruk pikuk keramaian metropolitan. Tapi itu dulu. Hingga kemudian setelah beberapa tahun menetap di ibukota untuk studi dan perantauan kehidupan, rasa-rasanya sesuatu berubah. Segalanya terjadi dan luput dari kesadaran diri.

Lambat laun pinggiran kota rasanya menjemukan. Segala tempo yang lambat rasa-rasanya membuat gatal. Kesunyian jika lama didengarkan malahan membuat frustasi. Ini janggal.
Kaki rasanya ingin terus kembali pada derap langkah cepat dan pasti khas pekerja kantoran yang berburu kendaraan publik. Dan jari terus mengetuk-ngetuk tak sabaran. Kedamaian pinggiran kota jadi hanya terasa nikmat jika dialami untuk sesekali, bukan untuk seterusnya. Tetapi kebetahan ini pun diimbangi dengan kejengkelan dan dengus kemuakan dengan kota yang sama yang membikin rindu. Aneh.

Ada adiksi yang nampaknya bertumbuh dari kecepatan, ketegangan dan keindividualan kota ini. Seolah ketagihan dengan dinamika yang kadang serasa mengontang-anting diri jika kita belum terbiasa. Tapi memang, memang kita sepertinya diontang-anting. Dari tak suka, menjadi suka kemudian balik lagi tak suka, lalu suka lagi. Mungkin begitu seterusnya. Ada hal-hal yang memungkinkan banyak hal lain terjadi; awalnya membuat diri merasa terfasilitasi tapi lama kelamaan berbalik membuat diri terasa seperti fasilitas. Fasilitas untuk apa? Entahlah.

Hidup di kota besar apalagi Jakarta memang tak mudah. Perlu trik dan strategi untuk bisa sekedar bertahan di kota ini. Usaha dan impian semata tak pernah cukup. Ada kebengisan tertentu yang hingga suatu titik membuat kita menjadi sesuai kebutuhan kota ini. Tetapi anehnya, lama kelamaan kota ini membuat ketergantungan. Pun kebengisan itu menjadi cambuk yang kadang dirindu.

Bagi mereka yang telah ketergantungan, semuak apapun mereka pasti akan kembali ke kota ini. Seolah-olah belanga susu hanya bisa diteguk di kota ini. Seolah di kota lain kuncup potensi diri tak bisa dimekarkan atau bahkan sekedar bertumbuh. Begitu sulit memutuskan untuk pergi. Begitu sulit untuk tak lagi menetap di sini. Begitu sulit mengucap perpisahan dengan cakrawala yang dipenuhi gedung-gedung tinggi tapi gulita di kala petang.

Mungkin memang beginilah cara urbanisasi bekerja. Impian-impian kita dijanjikan kepastian. Padahal kepastian itu letaknya ada pada kaki, tangan, tubuh, hati, pikiran dan jiwa kita sendiri. Kota ini tidak memberi apa-apa kecuali sebangun laboratorium untuk eksperimentasi. Dan mungkin hal yang sama pun terjadi di kota-kota besar lainnya di dunia. Kita dibuat berpikir tak bisa hidup tanpa fasilitas-fasilitas itu. Lama-lama bisa jadi seperti katak dalam tempurung. Mungkin.