Kisah Solidaritas dari Kaki Gunung Kendeng
Empat sosok wanita berpakaian
kebaya dan jarik duduk rapi berjajar. Rambut mereka disanggul rapi dengan tusuk
konde merah putih, warna merah teracung tegak ke atas. Wajah mereka sayu,
barangkali letih oleh perjuangan yang sudah 273 hari ditapaki. Tetapi bagi
seorang ibu, adakah letih digubris jika perjuangan berarti kehidupan yang baik
bagi anak-anaknya?
Sukinah, Murtini, Giyem dan
Ngatemi. Begitulah bagaimana mereka dipanggil. Keempatnya merupakan ibu-ibu
petani dari Rembang dan Pati. Mereka melangkah jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk
satu tujuan pasti, menyelamatkan kendi air Pegunungan Kendeng dari jamahan
pabrik Semen. Hari ini di Jawa, tanah sudah kian rusak. Hutan dan sawah bukan
lagi bagian dari ekologi yang terpelihara dengan baik terlebih dengan ekspansi
industri yang kian kalap merambah nadi-nadi keseimbangan ekologi. Di Jawa
Tengah yang pernah tersohor sebagai lumbung beras Nusantara, keadaannya kian
beda. Persawahan diganti dengan perumahan. Hutan dan gunung diganti dengan
pabrik. Kendi air kita bisa jadi akan segera pecah. Lalu kerontang melanda dan
pertanian kian merana.
Barangkali persoalan terkait
pendirian pabrik semen di Rembang dan Pati ini sudah tidak lagi asing
terdengar.
Sebagian warga menolak pendirian pabrik semen ini karena nantinya dapat merusak mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar. Bukan apa-apa, mayoritas masyarakat sekitar hidup dari pertanian. Terutama masyarakat yang berasal dari suku Samin, mereka hanya bermata pencaharian sebagai petani sebab berdagang merupakan hal yang dilarang dalam adat. Sehingga keberadaan sumber mata air yang sehat dan bersih menjadi sangat penting. Problematika pendirian pabrik semen di Rembang ini semakin kentara ketika rupanya proses amdal berjalan buruk dan tidak sesuai dengan situasi sebenarnya. Sosialisasi amdal yang terjadi hingga kini pun bersifat meminta persetujuan warga dan lebih menekankan soal lapangan kerja baru dan CSR. Padahal sosialisasi amdal mestinya ditujukan untuk memaparkan dampak apa saja yang bisa timbul akibat pendirian pabrik, termasuk dampak perubahan ekologis.
Sebagian warga menolak pendirian pabrik semen ini karena nantinya dapat merusak mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar. Bukan apa-apa, mayoritas masyarakat sekitar hidup dari pertanian. Terutama masyarakat yang berasal dari suku Samin, mereka hanya bermata pencaharian sebagai petani sebab berdagang merupakan hal yang dilarang dalam adat. Sehingga keberadaan sumber mata air yang sehat dan bersih menjadi sangat penting. Problematika pendirian pabrik semen di Rembang ini semakin kentara ketika rupanya proses amdal berjalan buruk dan tidak sesuai dengan situasi sebenarnya. Sosialisasi amdal yang terjadi hingga kini pun bersifat meminta persetujuan warga dan lebih menekankan soal lapangan kerja baru dan CSR. Padahal sosialisasi amdal mestinya ditujukan untuk memaparkan dampak apa saja yang bisa timbul akibat pendirian pabrik, termasuk dampak perubahan ekologis.
Belum lagi menyangkut kelestarian
kawasan karst Indonesia yang semakin rawan akibat didirikannya pabrik semen di
sejumlah kawasan Karst seperti di Pati, Sulawesi Selatan, Sumatra di sepanjang
Bukit Barisan, Pangkep dan Maros. Semua terancam karena pembangunan pabrik
semen yang mensyaratkan kapur dari Karst sebagai bahan bakunya (disampaikan
oleh Ibu Nurhayati, Kepala Eksekutif Advokasi Nasional WALHI).
Di Rembang dekat Gunung Kendeng,
para petani termasuk para ibu ini telah berkemah selama 273 hari sejak 16 Juni
2014 untuk memblokade jalan masuk bagi peralatan berat yang akan membangun
pabrik semen di Rembang. Pegunungan Kendeng sendiri merupakan pegunungan yang
membentang di Jawa Tengah dan dikelilingi 5 kabupaten, berisikan tidak sedikit
candi dan Mata air abadi. Bagi masyarakat Rembang dan Pati, Gunung Kendeng
adalah tempatnya air dan telah menjadi surga bagi orang-orang di desa dan
terutama petani. Air tanah adalah bagian dari mereka karena darinyalah banyak
makhluk bisa hidup. Sehingga kelestarian harus senantiasa dijaga.
Lewat aksi kemah, blokade hingga
nyanyian yang diiringi suara tumbukan lesung, para ibu ini mempertahankan
kelestarian ekologi bagi hari ini dan ke depannya. Perjuangan ini bukan tanpa
tantangan. Aksi para ibu petani ini kerap dibubarkan oleh para aparat polisi
dan TNI, bahkan kadang pembubaran dilakukan secara paksa. Salah seorang ibu
bercerita bahwa dirinya pernah dilemapar hingga pingsan oleh aparat dalam rangka
pembubaran blokade. Saat aksi damai dalam nyanyian yang diiringi lesung, ibu
inipun pernah dipukul oleh aparat. Bupati dan Gubernur setempat sendiri
menunjukkan keberpihakan telak pada pihak pabrik Semen. Ini ditunjukkan dari
tuntutan-tuntutan warga terkait penarikan izin pendirian pabrik yang tidak
digubris. Bahkan tidak jarang para petani ini diperlakukan seperti orang-orang
dungu yang tidak tahu birokrasi. Menggelikan ketika seorang birokrat terdidik
menanyakan perihal amdal kepada petani. Mereka membaca dan memahami alam lewat
kehidupan, bukan lewat lembaran kertas atau lewat lipstik janji politik. Bagi mereka
alam dan kehidupan adalah satu, bukannya komoditas yang dijual belikan begitu
saja. Ironisnya, salah satu pabrik semen yang hendak mendirikan pabrik di
Gunung Kendeng adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lalu pertanyaannya, dimana janji
konstitusi negara untuk melindungi segenap warga negaranya?
Mana janji konstitusi soal
perlindungan hak masyarakat adat?
Saya takut jika janji-janji ini
sudah dijual pada segelintir investor dan pemilik industri.
Kini, masyarakat Kendeng yang
kontra dengan pabrik semen tengah berjuang lewat pengadilan agar izin pendirian
pabrik dapat dicabut. Proses pengadilan sudah berlangsung 10 kali. Namun sayangnya,
ada kecenderungan hakim yang subyektif dan tidak profesional. Meski demikian
masyarakat Kendeng terutama ibu-ibu petani ini masih terus berjuang bagi lewat
jalur hukum, konsolidasi maupun aksi damai menolak pendirian pabrik. Mereka
masih mengenakan caping sebagai simbol dari pengadilan yang adil.
Tidak ada perjuangan yang sia,
bahkan jika negara telah kian absen dari kewajibannya melindungi yang terlemah.
Bahkan jika negara sudah lenggang adijaya,
adigang, adigung, adiguna.
Cerita lebih lanjut tentang bagaimana pendirian pabrik Semen di Rembang telah mengganggu kemakmuran warga di sana dapat diikuti pada linimasa twitter akun @JmppkRembang & @omahekendeng.
Selain itu, kondisi di Kendeng dapat juga disaksikan melalui sebuah dokumentasi film Samin vs Semen yang dapat diakses melalui https://t.co/IH58PekZbD .
Terima kasih.
** tulisan ini merupakan
rangkuman percakapan pada diskuis pembukaan pameran Sketsa Perjuangan Petani Rembang & Pesan Solidaritas bagi
Perjuangan Rembang yang diadakan di galeri WALHI pada Selasa, 17 Maret
2015.