Mahasiswa Galau
Apa yang
membedakan antara menjadi mahasiswa dengan menjadi siswa?
Pertanyaan
semacam ini sesungguhnya sudah berkali- kali saya dengar sejak pertama kali
saya menyandang status menjadi seorang mahasiswa. Jawaban dari pertanyaan ini pun
sudah pernah diberitahukan pada saya atau saya baca, bahkan saya pikirkan
masak- masak.
Dulu ketika saya
masih sangat baru menyandang gelar mahasiswa, saya pernah mengikuti sebuah
acara bedah film di Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama. Film yang dibedah
berjudul Dead Poet Society dan
bersamaan dengan
itu saya dibekali dua buah esai terkait film tersebut, salah satu esai yang diberikan kepada saya berjudul Dead Poet Society: Pesan Perlawanan. Esai ini banyak memberi penjelasan tentang pesan pembebasan yang dibawa film ini dan sang penulis esai yaitu Ai Nurhidayat banyak merelasikannya dengan realitas kehidupan yang dihidupi mahasiswa.
itu saya dibekali dua buah esai terkait film tersebut, salah satu esai yang diberikan kepada saya berjudul Dead Poet Society: Pesan Perlawanan. Esai ini banyak memberi penjelasan tentang pesan pembebasan yang dibawa film ini dan sang penulis esai yaitu Ai Nurhidayat banyak merelasikannya dengan realitas kehidupan yang dihidupi mahasiswa.
Di Indonesia,
seseorang yang belajar pada taraf perguruan tinggi mendapat sebutan mahasiswa. Memang kalau dipikir- pikir
gelar kemahaan sebelum kata siswa tidak
mungkin diberikan atau ditempelkan secara begitu saja. Pasti ada sesuatu yang
membuat sebutan ini kemudian tidak bisa menjadi hanya sebutan saja, melainkan
juga merupakan sebuah status dan gelar yang tidak biasa. Menurut esai yang ditulis
Ai Nurhidayat, kemahaan dalam kesiswaan mahasiswa bermakna pengamanatan sebuah
upaya pemerdekaan kepada mahasiswa yang bertugas untuk memerdekakan Indonesia
seutuhnya. Penjelasan ini kemudiaan membawa saya kepada pertanyaan lain yang
mungkin saja terdengar bodoh tetapi menurut saya cukup penting untuk diketahui,
bagaimana semestinya atau sebaiknya menjadi mahasiswa
lantas?
Sebagai
seseorang yang selama setahun belakangan telah menyandang status mahasiswa,
saya jujur saja masih belum sepenuhnya meresapi jawaban mengapa menjadi mahasiswa berbeda dengan menjadi siswa semata. Bahkan saya belum bisa
benar- benar mengakui bahwa diri saya sudah pantas disebut sebagai mahasiswa.
Melihat ke sekeliling saya, saya pun kembali bertanya- tanya apakah orang- orang
yang disebut mahasiswa ini pun merasa serupa dengan yang saya rasakan?
Dalam beberapa
wacana, banyak dibahas bahwa menjadi mahasiswa berarti perlu mendorong
realisasi sejumlah komponen yang mungkin masih potensial dalam dirinya yaitu
potensi pikiran yang aktif, kritis, nalar, berani dan bertanggung jawab. Bukan
hanya itu saja, disebutkan pula melalui Tri Dharma perguruan tinggi mengenai
tiga amanat yang mesti diemban mahasiswa: pendidikan dan pengajaran;
penelitian; pengabdian. Tetapi berapa banyak kesadaran akan hal- hal ini
tertanam di dalam diri mahasiswa Indonesia ketika hari ini saja mahasiswa kerap
didorong untuk lulus selekasnya dengan indeks prestasi setingginya. Seolah mereka
dikonstruksi untuk tidak menikmati dan menghayati anugerah mahasiswa yang
dimiliki.
Lalu, apa
bedanya kami dengan siswa sekolah yang didikte terus- menerus untuk menjadi
pencetak skor dan hanya diajarkan materi- materi dalam lembaran buku paket?
Kegelisahan ini,
tentang bagaimana sejatinya menjadi mahasiswa terus bergaung di tempurung saya.
Membuat saya dalam bahasa gaholnya
merasa galau. Apakah kegalauan ini terjadi akibat kurangnya informasi dan
komunikasi antara saya dan para pendahulu tentang nilai dan budaya mahasiswa?
Apakah kegalauan ini terjadi akibat kaderisasi universitas yang kurang
berhasil? Atau ini terjadi akibat secara individu saya memang belum memahami
hakikat mahasiswa?
Buat saya,
penting sekali untuk mencari tahu hal ini segera karena ada keputusan dan sikap
yang mesti saya ambil terkait kemahasiswaan yang sekarang ini saya emban.